Sabtu, 08 Februari 2014

FanFic - A Knight Who Falls for His Friends

Halo... :3

Wew..., baru-baru ini saya suka iseng nulis fanfic di smartphone. Ternyata asik juga, ya... apalagi kalo laptop lagi lemot... :v

Nah, sekarang  saya mau ngasih fanfic pertamaku. (Readers: Kenapa gak ke FFn/FanFiction.net aja?) Yah, yang saya tahu di sana banyak penulis elit dan saya agak malu kalo harus upload ke sana... :P

Notes and warnings:
  • Hetalia belongs to Hidekazu Himaruya.
  • Genre: niatnya friendship + tragedy, tapi gak tahu deh kalo malah gak nyambung... :v
  • Slight PruHun atau AusHun, chara death inside! D:
  • Kemungkinan OOC, alur yang berantakan, atau diksi gak jelas tetap ada~ :v
  • Human names used.
  • Medieval AU.
Summary:
Elizaveta, Roderich, dan Gilbert; mereka adalah sahabat sejak kecil. Tahun demi tahun berlalu dan pada suatu hari ketahuan kalau keluarga Edelstein berniat menjodohkan Roderich dengan Elizaveta. Gilbert mendengar itu sendiri, langsung dari Roderich; dan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tak terduga, yang ditujukan untuk Elizaveta.
Enjoy~! :D

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Seorang wanita berambut panjang dan seorang pria berkacamata memasuki sebuah ruangan gelap. Terlihat sebuah peti tepat di depan mereka. Kemudian, dibukanya peti tersebut. Sang wanita mengambil sebilah pedang dan sehelai jubah lusuh di dalamnya. Mereka pun terdiam sejenak, teringat akan orang terdekat mereka.



---



Tiga orang anak terlihat sedang bermain dengan gembira di sebuah bukit yang hijau. Angin sepoi menghempas tubuh mereka dengan lembut. Mereka adalah Gilbert, Roderich, dan Elizaveta. Mereka adalah sahabat sejak mereka kecil. Meski mereka berbeda derajat – Roderich dari keluarga bangsawan, Elizaveta dari keluarga kerajaan, Gilbert dari keluarga sederhana – namun mereka memperlakukan satu sama lain seakan-akan derajat mereka sama.



"Menyerahlah kau, wahai naga buas pengganggu!" seru Gilbert sambil mengacung-acungkan pedang kayunya ke arah Roderich.



"Arrr..., kau harus mengalahkanku dulu, barulah gadis itu aku lepaskan...," balas Roderich dengan suara yang dibuat sangar.



"Aaahhh, tolong selamatkan aku, Gilbert...!" seru Elizaveta dengan kedua tangan yang digenggam Roderich erat-erat.



"Tenanglah Putri Elizaveta, sang ksatria awesome ini akan segera menolongmu...! Hyaa...!!" seru Gilbert sambil berlari dan kemudian mengayunkan pedang kayunya ke arah Roderich.



Trak! Roderich menahan serangan Gilbert dengan papan kayu yang dia dapatkan entah dari mana.  Gilbert berusaha mendesak, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa mereka mendekati bagian bukit yang sedikit curam. Akhirnya mereka jatuh dan terguling ke bawah. Karena kaget, Elizaveta mematung sejenak sampai terdengar kata-kata yang keluar dari mulut Gilbert dan Roderich secara bersamaan:



"Tenang saja, Elizaveta! Kami tidak apa-apa!"



"Ahahaha..., syukurlah...," jawab Elizaveta sambil turun dan tertawa kecil. Terdengar tawa dari kedua anak laki-laki tersebut.



"Kau tahu, aku benar-benar khawatir dengan kalian...," kata Elizaveta cemas.



"Memangnya kenapa?" tanya Gilbert, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.



"Kau benar, Elizaveta. Lagipula, sekarang kerajaan ini sedang perang. Kalau salah sedikit saja, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kita...," jawab Roderich membenarkan kata-kata kawan perempuannya itu.



"Tapi, kalian tidak perlu bersikap begitu. Hadapi saja seolah-olah tidak ada hal buruk yang terjadi," balas Gilbert optimis. Roderich dan Elizaveta tersenyum mendengarnya.



"Benar juga. Oh, lebih baik kita pulang sekarang. Orang tua kita pasti cemas mencari kita," kata Roderich.



"Iya. Kalau sampai ketahuan ayah, habislah aku," jawab Elizaveta. "Gilbert, kau tidak keberatan 'kan kalau kami pulang?"



"Tidak apa-apa, kawan. Besok kita main lagi, ya?" jawab Gilbert.



"Oke. Sampai jumpa, kawan!" sahut Roderich dan Elizaveta. Gilbert hanya membalasnya dengan lambaian tangan.



---



Tujuh tahun berlalu. Gilbert, Roderich, dan Elizaveta tumbuh menjadi remaja yang dikenal sebagian besar orang sebagai tiga sahabat yang selalu akur. Dan saat-saat itulah yang seharusnya menjadi momen yang diinginkan Gilbert: menyatakan perasaannya kepada Elizaveta. Ya, dia mulai menyukai Elizaveta sejak pertama berteman dengannya. Dia menyukai Elizaveta karena rupanya yang cantik bak bunga edelweiss, juga keberaniannya yang membuatnya lebih seperti ksatria wanita ketimbang putri kerajaan. Keberanian Elizaveta jelas terlihat saat ia pernah tanpa takut memukuli anak-anak yang berani mengganggu Gilbert dan Roderich, dengan menggunakan pan penggorengan.



"Hei, Gilbert! Kau dari tadi melamun terus, ada apa denganmu?" kata Roderich sambil menepuk bahu Gilbert dengan cukup keras.



"Ya ampun, nyaris saja jantungku copot. Kau ini membuatku kaget saja...," sahut Gilbert, hampir naik pitam.



"Ahahaha..., maaf, maaf.... Tapi, kulihat kau melamun terus. Apa yang kau lamunkan, Tuan Awesome?" tanya Roderich sambil berkelakar.



"Anu, sebenarnya aku...," Roderich menunggu sampai satu frasa – atau setidaknya satu kata – keluar dari mulut Gilbert, "...suka dengan Elizaveta...," kata Gilbert pelan.



"Kau suka dengan Elizaveta?!" seru Roderich setengah teriak, tanpa memperdulikan tempat mereka berada yang sedang ramai-ramainya. Gilbert hanya mengangguk sambil berkata, "Itu benar, Roderich. Tapi, lain kali jangan sampai teriak begitu...,"



"Uhm, maaf, aku benar-benar tidak menyangka kau menyukainya...,"



"Begitulah..., lantas kenapa air mukamu jadi aneh begitu?"



"Baik, mungkin kau tidak akan menyukai ini, tapi...,"



"Tuan muda! Nyonya Edelstein mencarimu dari tadi!" sahutan pengawal keluarga Edelstein memotong obrolan mereka.



"Ada apa, pengawal?" tanya Roderich.



"Ayo kita pulang, tuan muda. Tuan dan Nyonya Edelstein akan menunangkanmu dengan Putri Hèdèrvary," jawab sang pengawal. Gilbert tidak percaya dengan kalimat terakhir yang baru saja dilontarkan itu.



"Apa yang..., baru saja dia katakan?"



"Itu yang mau aku katakan dari tadi, Gilbert. Ayah dan ibuku akan menunangkanku dengan Elizaveta. Sebenarnya aku agak keberatan, tapi mereka terus memaksa...," jelas Roderich.



"Baiklah, Roderich. Aku mengerti semuanya. Oke, aku harus pulang sekarang, adikku Ludwig pasti sudah lama menungguku," kata Gilbert, berbalik dan pulang dengan beberapa bulir air mata yang membasahi pipinya, tepat seperti yang Roderich duga dalam perjalanannya pulang ke kediamannya.



"Maafkan aku, kawan. Aku memang tidak bisa menghalangi rencana itu...," gumam si kacamata itu kecewa. Sementara itu, Gilbert juga menggumamkan sesuatu, "Tak apa-apa..., karena sebagai gantinya aku akan membahagiakan kalian...,"



---



"Bruder Gilbert, kau serius mau ikut perang?" tanya Ludwig tidak percaya melihat kakaknya yang sudah rapi dengan baju zirah ditambah jubah. Ya, baru-baru ini Gilbert direkrut sebagai anggota kelompok ksatria di kerajaan tengah yang akan berperang melawan kerajaan timur.



"Tentu saja, adikku. Ini memang cita-cita Kakak saat kecil, ikut perang demi kerajaan," jawab Gilbert.



"Ya ampun..., saat kecil punya cita-cita begitu...?" Ludwig masih tidak percaya.



"Ayolah, itu cita-cita paling awesome yang pernah kupunya~, kesesese...," jawab Gilbert dengan tawa khasnya.



"Kakak pergi dulu. Kau jaga dirimu, ya?" Gilbert keluar rumah. Ludwig pun menyahut, "Bruder juga hati-hati...!"



"Tenang saja, aku pasti kembali dengan selamat...," belum selesai Gilbert bicara, Roderich dan Elizaveta berada tepat di depannya. "Eh, ada perlu apa kalian kemari? Dan Elizaveta, kau pergi diam-diam, apa tidak ketahuan orang tuamu?"



"...Berjanjilah kalau kau akan kembali dengan selamat...," kata Elizaveta lirih, lalu ia memengarahkan tangannya ke depan teman-temannya itu.



"Iya, suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi, 'kan?" jawab Roderich membenarkan dan meletakkan tangannya di atas tangan Elizaveta.



"Tentu saja!" jawab Gilbert sambil meletakkan tangannya di atas tangan mereka. "Aku pergi dulu!"



"Hati-hati, Gilbert!!" seru teman-temannya.



"Jaga diri Bruder baik-baik!!" seru Ludwig.



Sang pemilik rambut silver itu berjalan dengan langkah mantap menuju medan peperangan, dengan dua tujuan: menjaga keamanan kerajaan dan satu tujuan yang dia pendam dari teman-temannya.



Sesampainya di lapangan tempat perang itu akan berlangsung, terlihat dua partnernya, Francis dan Antonio menunggu di situ.



"Mon dieu, lama sekali kau, Gilbert.... Oi, Antonio! Lebih baik kau sudahi siesta-mu itu~" kata sang pemilik rambut pirang bergelombang itu.



"Ah? Oh, kau sudah datang, ya?" jawab Antonio tiba-tiba.



"Kalau yang ada di depanmu bukan aku, lantas siapa?" Sepasang mata berwarna rubi itu mengarahkan pandangannya dengan sinis ke Antonio. "Lebih baik kita bergegas, ada banyak musuh yang harus kita kalahkan...,"



Sementara itu, Elizaveta dan Roderich sedang memangkas tanaman bersama Ludwig. Mereka bertiga masih memikirkan Gilbert yang sedang berperang.



"Ow!" jerit Elizaveta sambil buru-buru mengangkat jarinya dari tanaman yang sedang dipangkasnya itu.



"Ada apa, Elizaveta?" tanya Roderich. Lalu, ia melihat jari manis Elizaveta yang berlumuran sedikit darah.



"Jariku terluka begini...," jawab Elizaveta sambil menunjukkan jarinya, "...dan sepertinya aku punya firasat yang buruk...," lanjutnya.



"Tentang Bruder? Jangan berpikiran buruk begitu, bisa-bisa aku juga terpikir begitu...," kata Ludwig, ikut khawatir.



"Sepertinya aku juga jadi khawatir dengannya...," tambah Roderich. Suasana jadi hening sebentar. Wajah khawatir mereka diterpa semilir angin yang lembut.



"...Sebaiknya kita doakan supaya dia kembali ke sini dengan selamat...," kata Roderich. "Setidaknya itu akan membuyarkan pikiran buruk kalian, 'kan?" Elizaveta dan Ludwig mengangguk setuju. Kemudian, mereka pun mulai berdoa, memohon keselamatan Gilbert.



---



Tiga hari telah berlalu. Ini saatnya rakyat di kerajaan tengah untuk bersukacita. Mengapa? Saat perang berlangsung, pasukan kerajaan tengah berhasil menaklukkan pasukan kerajaan timur dan yang lebih menggembirakan lagi, perang benar-benar telah berakhir.



Elizaveta, Roderich, dan Ludwig juga mendengar kabar ini. Seperti rakyat yang lainnya, mereka pun bersukacita. Namun, di sisi lain mereka juga masih mengkhawatirkan Gilbert. Jadi, mereka memutuskan untuk mencarinya. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan tiga orang dengan seseorang yang sangat dikenali oleh mereka berada di antaranya. Wajah mereka sempat berbinar , namun hal itu hanya berlangsung sebentar. Keadaannya terbalik 180 derajat dari yang mereka harapkan.



"Akhirnya, perang benar-benar berakhir, eh?" ucap Gilbert pelan, lalu ia terjatuh.



"Bruder, ada apa denganmu...?" tanya Ludwig panik sampai ia melihat jejak luka di jubahnya.



"Ini semua salahku...," kata Antonio dengan mata berkaca-kaca. "Saat aku terdesak, dia terkena panah di belakangku."



"Maksudmu?" tanya Roderich yang saat itu belum mengerti.



"Tadi saat Antonio sedang bertarung, seseorang membidikkan panah beracun ke arahnya. Tapi, Gilbert melihat itu dan ia berlari ke belakangnya...," jelas Francis.



"Apa?! Panah beracun?!" seru Elizaveta tidak percaya. "Itu..., bohong, 'kan?"



"Tidak, kami sungguh-sungguh. Yang pernah kudengar, racunnya diambil laba-laba berwarna hitam-merah...," jelas Antonio. Ia melanjutkan, "...dan kudengar racun itu bisa membunuh seseorang dalam waktu kurang dari sehari...,"



Elizaveta, Roderich, dan Ludwig bagai disambar petir saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Antonio.



"Si pemanah itu benar-benar licik...," ucap Ludwig geram. Kemudian, ia membalikkan tubuh Gilbert sehingga ia dalam keadaan terlentang.



"Te... teman-teman... -uhuk!!" Gilbert bermaksud bicara, namun terpotong oleh suara batuk yang cukup keras.



"Gilbert, kau... kenapa kau melakukan hal seperti itu?" tanya Elizaveta dengan ekspresi ngeri yang bercampur aduk dengan kekhawatirannya, terutama saat ia melihat darah yang mengalir perlahan dari mulut Gilbert. Belum lagi wajahnya yang jadi lebih pucat dari seorang albino yang biasanya.



"...Dekatkan telingamu kemari, Elizaveta...," pinta Gilbert. Tanpa basa-basi lagi, Elizaveta mendekatkan telinganya ke wajah Gilbert. Tak lama kemudian, ia mengangkat wajahnya dengan air mata yang hampir tidak bisa tertahankan lagi.



"Kenapa kau baru mengatakannya...?" Elizaveta benar-benar tidak bisa menahan air matanya lagi.



"Apa yang Bruder katakan?" tanya Ludwig bingung.



"Dia bilang dia suka Elizaveta, sangat suka...," jawab Roderich setelah ia membisu sementara.



"Kau sudah tahu, Roderich?" tanya Elizaveta. Roderich hanya menjawabnya dengan anggukan pelan.



"Tapi, kenapa?! Kenapa kau juga baru mengatakannya?"



"Aku tidak ingin mengacaukan keadaan..., belum lagi aku berbeda status... dengan kalian berdua...," kata Gilbert tepat sebelum Roderich bicara. Semua membisu di tempat. "...dan jika aku tidak bisa mendapatkanmu..., setidaknya aku ingin melindungimu...," lanjutnya.



"Aku mengerti, Gilbert..., jadi kau...," ucap Roderich.



"Itu benar..., aku ingin menjadi ksatria untuk kalian...," kata Gilbert sebelum ia dipaksa membatukkan darah lagi. Pandangannya semakin kabur dan ia mulai kesulitan bernafas.



"Ukh... uhuk!!" Semuanya jadi bertambah panik.



"Hentikan bicaramu, Gilbert! Kalau tidak, racunnya akan lebih mudah menyebar!" pinta Roderich dengan ekspresi yang sama dengan Antonio. Alhasil, kacamatanya keburu basah oleh air matanya.



"...Sudah terlambat, kawan. Racunnya sudah terlanjur menyebar ke seluruh tubuhku.... Aku hanya berharap kalian berdua bisa bahagia bersama...," Elizaveta dan Roderich hanya terpaku sedih.



"...Bagaimana kalau kita berpelukan bertiga?" ajak Elizaveta sambil sedikit tersenyum. Roderich setuju, begitu juga dengan Gilbert yang berusaha bangkit. Mereka bertiga pun berpelukan.



"...Aku sungguh bahagia menjadi sahabat kalian..., dan akhirnya kita bisa bertemu lagi... untuk terakhir kalinya...," ucap Gilbert kaku. Mendengar dua kata terakhir barusan, Roderich tiba-tiba memekik, "Jangan bicara begitu! Kita bisa melanjutkan hidup kita bertiga bersama...," Elizaveta juga angkat bicara, "Benar, kita bisa menghadapinya bersama, Gilbert..."



Mereka tidak menyadari bahwa Gilbert tidak memberikan respon satupun."Gilbert?" Mereka jadi curiga dengan kulitnya yang mendingin seperti es. Kemudian, mereka melepaskan pelukannya. Dilihatnya seorang Gilbert yang sudah tidak bergerak lagi. Ketika Elizaveta melepaskan tangannya dari tangan Gilbert, dan ia melihat dengan jelas tangannya yang jatuh dengan lemasnya.



Wajahnya? Benar, di wajahnya terukir sebuah senyuman kaku, lengkap dengan bekas air mata di pipinya. Melihat wajahnya itu, Elizaveta tidak bisa manahan tangisnya lagi, begitu juga dengan Roderich dan Ludwig. Francis dan Antonio juga hanya mematung, larut dalam kesedihan.



"Maafkan aku, Gilbert!!" teriak Elizaveta sambil memeluk erat-erat tubuh Gilbert yang sudah dingin dan kaku itu.



---



"Sudahlah, tidak baik kalau terlalu lama larut dalam kesedihan, Elizaveta...," sang pria berkacamata itu berusaha menenangkan wanita berambut panjang itu.



"...Kau benar, Roderich. Ayo kita keluar...," respon wanita itu sambil menyeka air matanya. Kemudian, ia merapikan isi peti itu, menutupnya, dan akhirnya keluar dari ruangan yang gelap itu. Sang pria ikut keluar lalu menutup pintunya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Gimana pendapat readers semua? Aneh? Gaje? Atau justru galau? Silakan dikomentari, ya~? Flame tidak diterima! D:<

0 komentar:

Posting Komentar