Sabtu, 14 Februari 2015

FanFic - The Last Winter in Seoul

GYAAHH!! Akhirnya fanfic ane kali ini udah mateng sempurna~~(?)!!! XD #ditimpukkoteka

Omong-omong, kalo ente pada penasaran apa yang terjadi sama ane, jawabannya adalah satu lagi fanfic crossover yang udah jadi dengan cantiknya~(??). Tepatnya, ane baru saja berhasil nyelesaikan fanfic crossover SnK dengan Master's Sun!! (Yang suka K-Drama pasti ngerti :D) Ini (mungkin) udah jadi FF terpanjang yang pernah ane tulis :'3

Oke. Jadi, ane pernah nonton dua episode Master's Sun dan ASDFGHJKL - keren banget sumpah!! Ide tentang seseorang yang bisa melihat hantu itu keren sekali. Udah begitu ini pertama kalinya ane nonton drama genre horor gitu, selama ini 'kan yang punya genre gituan cuma movie-nya tok.

Nah, idenya itu kebetulan ada secuil yang nyambung dengan anime favorit ane sekarang (baca: Shingeki no Kyojin), yaitu soal orang mati. Lha, emang apa hubungannya coba? Ya ada, dong. Ane bahkan sempat bayangin Tae Gong-Sil yang tiba-tiba ngeliatin arwah para deadchara di situ :v (Kalo mau bayangin sendiri, silakan saja. Tapi jangan lempar saya ke Sungai Mamberamo, oke?)

Oh iya, ane juga mau ngucap banyak terima kasih buat teman sekelas ane yang notabene fans SnK merangkap fans Korea-Koreaan, mereka udah ngasih banyak dukungan buat nyelesaikan FF ini. Gomawo~ Arigatou gozimasu~ #tebarsparkle

Yosh, langsung saja ke FF-nya! ^o^/

Notes and warnings:
  • Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama.
  • Master's Sun belongs to KBS (?) (Yang tau disclaimernya tolong kasih tau ane)
  • Genre: friendship (?) plus angst gagal total (?)
  • Rating: err... K+ mungkin?
  • Alur kebolak-balik, OOC parah, ngaco tingkat dewa, diksi gagal, angst kagak dapet, dll.
Summary:
Jean Kirstein adalah seorang mahasiswa asal Jerman yang datang ke Korea Selatan untuk belajar dan selama dua tahunnya di sana ia selalu merasa terganggu oleh seorang wanita bernama Tae Gong-Sil. Namun, siapa yang bakal menyangka pertemuannya dengan wanita itu pada musim dingin terakhirnya di Seoul membawanya kembali ke pengalaman pahit yang ia alami sebelum menginjakkan kaki di Negeri Ginseng itu?
Monggo~~ ^^

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Jean's POV



Kubuka mataku perlahan-lahan meski rasa kantuk ini masih terus mendera. Pemandangan pertama yang kulihat hari ini adalah seisi kamarku yang teramat berantakan. Dengan tubuh yang masih berlapiskan selimut tebal nan hangat, aku beranjak dari ranjangku dan melangkah pelan ke arah jendela yang masih tertutup tirai. Begitu kubuka tirai itu, tampaklah pemandangan Seoul yang sebagian besar terselimuti salju putih.



Namaku Jean Kirstein dan umurku 20 tahun. Sebenarnya aku adalah seorang mahasiswa yang datang dari Jerman. Namun, kedatanganku ke Korea Selatan ini bukanlah tanpa alasan. Kebetulan saja aku mendapatkan suatu kesempatan (yang biasa disebut sebagai beasiswa) untuk belajar di negara yang dijuluki 'Negeri Ginseng' ini selama dua tahun. Ya, di kampusku aku dikenal sebagai salah satu dari banyak mahasiswa yang punya potensi tinggi di bidang pengetahuan kebudayaan dunia. Sebagai seorang mahasiswa, tidak mungkin kusia-siakan kesempatan itu begitu saja.



Selama berada di Seoul aku menemukan berbagai hal baru yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kebudayaan yang unik, masyarakat yang ramah, dan jangan lupa juga akan cewek-cewek cantik jelita yang banyak kutemui di berbagai penjuru kota. Lumayan lah, bisa cuci mata di akhir hari-hari yang melelahkan. Eh, apa aku ketularan sifat mesumnya Reiner, ya? Entahlah, lupakan saja.



Ngomong-ngomong soal cewek Korea, aku mendapat seorang teman baru. Ia adalah seorang wanita lajang bernama Tae Gong-Sil, aku sering bertemu dengannya ketika aku kerja paruh waktu di sebuah toko (biar tidak merepotkan orang tua, tentu saja) dan katanya ia tinggal di sebuah apartemen tak jauh dari toko itu. Wajahnya manis dan tutur katanya juga sopan, meski ia agak canggung karena aku datang dari Jerman. Oleh karena itu, aku sering meminta bantuannya selama keberadaanku di Seoul.



Itu pada awalnya, semua itu berlangsung sekitar satu setengah tahun. Namun, di semester terakhirku di Seoul, entah kenapa aku jadi merasa sebal dibuatnya. Memang tidak ada yang salah dengan wajahnya ataupun tutur katanya, tapi satu hal yang tidak kusukai darinya akhir-akhir ini.



Jadi, hal apakah yang membuatku sebal selama semester ini?



Baiklah, jika kau masih penasaran namun tak kunjung menemukan jawabannya, kubeberkan saja sekarang. Memang ada satu hal darinya yang membuatku risih bukan main. Setiap tiga hari, tepatnya pada pagi atau malam hari ketika aku berada di sekitar toko, ia selalu menjerit tentang–



"D-Dongsaeng!! Arwahnya ngikutin kamu lagi!!"



Tuh 'kan? Baru saja dibicarakan, tahu-tahu dia sudah menjerit lagi, persis di belakangku pula!



"Tolong, Nuna.... Untuk ke-50 kalinya, tidak ada apa-apa di belakangku!!"



Ya, benar. Ia selalu menjerit tentang arwah di hadapanku. Aku tak habis pikir, zaman sudah sangat maju di Korsel tapi ia masih suka menyinggung-nyinggung soal arwah orang meninggal yang berkeliaran di sana-sini. Benar-benar suatu persepsi yang tak lebih dari pikiran orang kolot nan primitif. Lagipula, hampir semua yang kukenal selama setahun lebih di sekitar sini paham benar kalau aku adalah tipe lelaki yang berpikir realistis, tidak percaya dan tidak akan pernah percaya akan keberadaan makhluk halus di sekitar.



---



Tae Gong-Sil's POV



"...Untuk ke-50 kalinya, tidak ada apa-apa di belakangku!!"



Kalimat itu masih terngiang di telingaku bahkan ketika aku sibuk bergulat dengan tugas-tugasku sebagai seorang office boy di Kingdom. Aku masih tidak mengerti mengapa mahasiswa asal Jerman yang bernama Jean itu tidak kunjung mempercayaiku, padahal tadi aku benar-benar melihat arwah itu tepat di depannya. Ia bahkan sudah mengikutinya selama lima bulan terakhir ini setiap tiga hari!



Oh iya, mau tahu seperti apa tampang arwah penguntit itu? Karena aku sering memergokinya bersama Jean, maka sebagai gantinya aku jadi hafal bagaimana rupa arwah itu. Begini, si arwah penguntit itu sedikit lebih tinggi dibandingkan Jean, rambutnya hitam legam, wajahnya rada-rada memelas, dan yang paling mencolok darinya adalah–



"Tae Gong-Sil! Ngapain kamu duduk bengong di sini, bukannya kerja?" Pertanyaan bernada intimidasi yang dilontarkan CEO Kingdom sukses membuyarkan semua lamunanku. Sebentar, apakah dari tadi aku memang duduk manis sambil melamun di dekat pancuran, ya?



"Ah, Tuan CEO! Anda membuatku kaget saja~" jawabku tersipu seraya mendekati CEO. Sialnya, dia justru menghindariku, sama seperti yang ia lakukan padaku di hari-hari sebelumnya.



"Jangan bilang kalau kau melihat arwah atau hantu lagi."



Wahai Tuan CEO yang bersahaja, nampaknya aku harus memberimu nilai A+ lagi kali ini. Tentu saja, itu karena sosok arwah penguntit tadi muncul kembali di hadapanku.



"Baiklah, baiklah," ucap CEO pasrah melihat reaksiku yang seakan-akan harus menghadapi monster yang menakutkan. "Sekarang katakan padaku seperti apa rupa arwah yang kau lihat sekarang!"



"Anu...," gumamku sebelum memulai jawabanku. Kuperhatikan si arwah yang kini tersenyum lembut namun masih terlihat menakutkan itu dengan seksama, mulai dari kepala hingga ujung kaki. "...Rambutnya hitam, agak tinggi.... Terus ada sesuatu mirip bintik-bintik di wajahnya...."



"...Rasanya aku kenal ciri-ciri itu...."



Aku tersentak mendengar perkataan CEO yang tiba-tiba itu. "Sungguh?"



"Kalau aku tidak salah ingat...," ucap CEO agak ragu. Namun, tak sampai lima detik, tiba-tiba ia menampakkan sebuah ekspresi yang mengindikasikan bahwa ia teringat sesuatu. "Ah! Begini, pernahkah kau mendengar berita tentang salju longsor di Jerman?"



"Err..., tidak."



"Baiklah, kau yang memintanya," ujar CEO dengan terpaksa. Ia pun menjelaskan semua yang tersimpan di dalam gudang ingatannya.



Selama sang CEO Kingdom menjelaskan, aku terus memperhatikan tanpa melewatkan satu detailpun. Sedikit demi sedikit aku mengerti apa yang sudah terjadi terkait dengan arwah itu. Menurut apa yang bisa diingat oleh CEO, salah seorang yang menjadi korban salju longsor itu memiliki ciri-ciri yang kurang lebih sama dengan ciri-ciri yang dimiliki si arwah yang kuceritakan barusan, hanya saja ia tidak ingat apakah si korban memiliki bintik di wajahnya atau tidak.



"Oke, Tae Gong-Sil, mendingan kamu lanjut kerja sekarang," kata CEO mengakhiri penjelasannya. "Dan tolong jangan dekat-dekat aku! Baju ini lebih mahal daripada yang dulu, tahu?!"



Astaga, rupanya kebiasaan burukku  kumat lagi – menyentuh CEO di tengah-tengah kepanikanku tiap kali aku menghadapi berbagai makhluk halus di sekitarku.



Di saat yang sama, arwah tadi langsung menghilang bagaikan asap yang terbawa angin.



---



Setumpuk penuh buku referensi beradu dengan meja belajar, diikuti oleh sebuah desahan panjang dan uap dingin yang menguar dari rongga mulut Jean. Mahasiswa bersurai coklat susu itu kini bisa bernapas lega karena ia telah selesai dengan semua kegiatan belajarnya. Ia hanya perlu menggunakan bulan terakhirnya untuk mempersiapkan dirinya kembali ke Jerman. Namun, yang disebutkan tadi bukanlah satu-satunya alasan atas kelegaan batinnya. Alasan lain yang menyertainya adalah seorang wanita bernama Tae Gong-Sil yang sering ditemuinya di sekitar toko tempat ia bekerja paruh waktu. Ia sudah lelah dengan kelakuan wanita yang kerap meneriakinya tentang hal yang menurutnya tidak logis sama sekali. Dengan demikian, jika ia kembali ke Jerman, artinya ia tidak akan lagi dijadikan sasaran teriakan wanita yang dianggapnya tidak waras itu.



Jean baru saja akan merebahkan dirinya ke tempat tidurnya ketika ponselnya tiba-tiba berdering nyaring. Dengan sigap diambilnya ponsel itu, ternyata ada pesan dari nomor tak dikenal yang masuk ke ponselnya. Rasa penasaran yang tidak bisa terbendung lagi memaksanya untuk membuka pesan itu, meski dengan sedikit keraguan dalam hatinya.



"Annyeong haseyo! Datanglah ke Kingdom siang ini, jam 1 siang. Tae Gong-Sil."



'Tch, ternyata perempuan sableng itu lagi,' batin Jean sebal. Ia juga heran bagaimana bisa Tae Gong-Sil mengetahui nomor ponselnya. Ia bermaksud menghapus pesan itu, namun satu lagi pesan dari pengirim yang sama masuk ke ponselnya.



"Serius! Tadi malam ada arwah yang datang padaku. Ia minta bantuan padaku dan permintaannya ini menyangkut dirimu."



Jean langsung terbahak begitu membaca isi pesan yang kedua. Ia tidak pernah menyangka Tae Gong-Sil akan membicarakan hal yang sangat ngawur, bahkan melebihi kengawuran omongan yang ia lontarkan selama dua tahunnya di Seoul.



Ia menghentikan tawanya sejenak dan beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air minum. Tak lama kemudian, ia keluar dari dapur hanya untuk mendapati ponselnya yang kembali berdering tanda pesan masuk. Ia segera membuka pesan yang ketiga itu sambil sebisa mungkin menahan tawa yang hampir meledak karena membayangkan hal-hal gila lain yang akan diceritakan si pengirim.



"Oh iya, hampir saja aku lupa! Ternyata dia cukup ramah, lho! Waktu dia menemuiku, di justru memperkenalkan dirinya lebih dulu. Kalau tidak salah sih, dia bilang namanya Marco Bott."



DHEG! Jean tercekat seketika begitu pandangannya terfokus ke nama yang disebutkan Tae Gong-Sil dalam pesannya. Senyum mengejek yang terukir di wajahnya pun memudar dan digantikan oleh sebuah raut wajah yang serius. Ia pun memutuskan untuk membalas pesan itu kali ini.



"Mwo?! Serius apa serius, nih?"



Beep! Beep! Ponsel Jean berdering lagi tak lama setelah pesan balasannya terkirim.



"Kalau kau memaksa, aku dua rius! (bercanda) Yang penting kamu datang aja ke Kingdom jam satu siang, ne! Akan kuajak kau ke tempat yang menarik!"



Ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia mendengar nama Kingdom.



'Oh iya, aku 'kan sering lewat kalau sedang pergi jalan-jalan, kok aku bisa lupa sih?!' batin Jean sambil menepuk jidatnya.



Entah kenapa, tiba-tiba sebuah ekspresi shock terpasang di wajah Jean begitu ia mengingat nama yang tertulis di pesan ketiga yang diterimanya dari Tae Gong-Sil tadi. Ia jadi teringat peristiwa pahit yang menimpa dirinya dan temannya sebelum ia datang ke Seoul; sebuah peristiwa yang membuatnya kehilangan teman terbaiknya.



"Jean! Kudengar kamu dapat beasiswa ke Korea, ya?"



"Tentu saja! Hebat, 'kan?"



"Keren! Jadi iri, deh...."



"Sudah kuduga kau iri padaku. Pasti kau ingin ke sana buat ketemu Amber yang katamu ngingetin kamu dengan kerabatmu yang di Norwegia, 'kan?"



"Ahaha..., tahu saja kamu ini.... Oh ja, omong-omong, gimana kalau kita rayakan kesuksesanmu itu?"



"Dengan apa?"



"Memotret pegunungan bersalju. Sudah lama kita tidak cari sesuatu untuk difoto, 'kan?"



Jean menghentikan acara mengingatnya begitu ia melirik jam yang ditampilkan di bagian atas layar ponselnya. Pukul 12.15. Ia segera bersiap-siap ke gedung perusahaan yang dimaksud sang wanita lajang yang sempat mengiriminya pesan-pesan itu.



---



"Woi, Jean! Di sini!!" Teriakan yang terdengar dari Tae Gong-Sil mengalihkan perhatian Jean yang sudah menunggunya selama setengah jam. Ia mengedarkan pandangan sekilas dan mendapati wanita itu melambai-lambai cepat tak jauh darinya.



Ia menghampiri Tae Gong-Sil dengan langkah cepat sambil membenarkan syalnya. "Ne, Nuna.... Kau serius soal arwah yang mendatangimu untuk minta tolong semalam, 'kan?" tanyanya serius.



"Tentu saja, Jean! Aku bicara sungguh-sungguh!" kata Tae Gong-Sil menegaskan.



“Yang namanya  Marco Bott itu, ‘kan?”



Eomeo..., ya iyalah!”



"Dan ngomong-ngomong dari mana kau dapatkan nomor ponselku?"



"Aku tanya dari pemilik toko tempatmu kerja sambilan...." jawab Tae Gong-Sil sambil nyengir keledai. "Oh iya, aku panggilkan taksi dulu, ya!" Wanita muda itu beranjak dari tempatnya berdiri, meninggalkan Jean yang kini dihujam hawa khas musim dingin.



Jean menunggu Tae Gong-Sil sambil mengenang saat-saat terakhir yang ia habiskan bersama temannya, Marco, sebelum kedatangannya ke Seoul; tepatnya saat mereka merayakan kelulusannya dalam tes beasiswa di sekitar pegunungan bersalju.



"Lihatlah, Jean!" seru Marco gembira sambil menyatukan ibu jari dan jari telunjuk dari kedua tangannya – sebuah bahasa tubuh yang dapat diartikan sebagai 'bingkai', kemudian menghadapkannya pada sebuah pemandangan di depannya. "Kalau pemandangan ini dipotret dengan sudut pandang begini, pasti hasilnya bagus sekali."



"Aku tahu itu," kata Jean sambil mengeluarkan peralatan fotografinya. "Dan dengan adanya pohon-pohon di pinggirnya, sudah pasti kita akan mendapatkan foto yang keren."



Jean dan Marco berbincang ringan sambil mempersiapkan berbagai perabot untuk memotret sebuah pemandangan di sekitar mereka. Pemandangan yang akan mereka potret itu berupa beberapa gunung dan bukit yang menjulang cukup tinggi serta diselimuti salju tebal. Gunung dan bukit itu dikelilingi oleh beberapa pohon cemara yang berdiri kokoh di sekitarnya.



Namun, sebelum mereka sempat memotret pemandangan itu, ada suara gemuruh yang diikuti oleh gundukan salju tebal yang turun menimpa mereka dengan cepat dari atas sebuah bukit. Jean hampir tidak ingat apa-apa lagi ketika gundukan salju itu longsor menimpa mereka.



"Jean! Tunggu apa lagi? Cepetan naik!!" sahut Tae Gong-Sil dari dalam taksi, mengagetkan Jean. Sang mahasiswa yang mendengar sahutan itu segera bergegas memasuki taksi yang baru saja dicegat wanita muda itu.



Selama perjalanan menuju tempat tujuan yang masih belum jelas, Jean hanya memandangi pemandangan bersalju yang melintasi penglihatannya dari balik jendela taksi sambil meneruskan mengingat perayaan yang berujung petaka itu.



"Huah!!" seru Jean sambil mendelik tiba-tiba. Ia mendapati dirinya berada di atas tempat tidur milik sebuah klinik. Ia segera bangkit dan kedua mata amber-nya langsung memindai seisi ruangan tempat ia berada sekarang dengan hati yang dijejali perasaan panik. "Marco? Kau di mana, Marco?"



Seorang petugas evakuasi masuk ke ruangan itu dengan wajah suram. Jean melihat petugas itu dan ia bisa merasakan bahwa sesuatu telah terjadi pada temannya. Petugas itu berkata pelan, "Ikut aku."



Tanpa pikir panjang, Jean langsung mengikuti petugas evakuasi tu menuju sebuah ruangan lain dengan diliputi perasaan cemas. Begitu mereka sampai di ruangan tersebut, jantung Jean serasa berhenti berdetak melihat sesosok tubuh yang terbaring kaku dan tertutup kain di atas sebuah tempat tidur tak jauh dari tempatnya berada sekarang. Ia menghampiri jasad itu dan segera membuka kain yang menutupinya. Alangkah terkejutnya ia begitu mengetahui bahwa si pemilik jasad tanpa nyawa itu adalah temannya sendiri.



"...Marco..., kenapa...?" bisiknya lirih.



"Seharusnya kau bersyukur karena kau selamat. Sementara temanmu...,"  Sang petugas evakuasi menunduk muram. "...Kami menemukannya tewas kedinginan di dalam gundukan salju yang dalam. Nampaknya ia mengalami suatu kondisi yang menyebabkannya tidak bisa bertahan dalam suhu yang sangat rendah."



Jean hanya menatap kosong jasad Marco dengan ekspresi tak percaya. Tidak pernah terpikir olehnya sebuah perayaan kelulusan yang ujung-ujungnya meminta tumbal, apalagi jika melibatkan hobinya sekarang.



Sejak peristiwa yang merenggut nyawa temannya itu terjadi, Jean memutuskan untuk tidak meneruskan hobi fotografinya yang telah mereka geluti sejak masuk SMA.



"Kita sudah sampai, Jean. Turun, yuk!" ajak Tae Gong-Sil, membuyarkan lamunan Jean. Jean yang baru saja mengakhiri acara mengingatnya itu segera turun.



Begitu ia turun dari taksi, sebuah ekspresi heran bercampur kagum terbentuk di wajahnya. Dilihatnya sebuah taman kota di Seoul yang penuh dengan aksen putih akibat tertutup salju. Beberapa pohon di sekitarnya berdiri tegar meski tanpa ada satupun daun di dahannya. Ada juga sekelompok anak kecil yang asyik bermain salju, mulai dari membuat boneka salju sampai bermain perang bola salju. Perpaduan antara tumpukan salju, pepohonan serta beberapa manusia yang berada di taman itu menjadikannya terlihat tenteram.



"Oh iya, arwah yang mendatangiku semalam menitipkan ini padaku," ujar Tae Gong-Sil tiba-tiba seraya mengambil sesuatu dari dalam tas tangannya. Ternyata hanya secarik surat yang ditulis wanita itu. Namun, Jean yakin isi surat itu adalah dari arwah yang Tae Gong-Sil maksud. Lagipula, ia sendiri tidak pernah mendengar kalau arwah bisa menulis.



Dibukanya surat itu, kemudian membaca isinya yang terbilang cukup panjang itu.



Lieber Jean,



Aku tahu kamu masih belum terima kalau aku sudah tiada, tapi bukan berarti kamu harus menghentikan hobi yang sudah kita geluti sejak lama. Sejak kau pergi ke Korea dengan wajah muram, aku mengkhawatirkanmu jadi aku sengaja mengikuti arah kepergianmu ke Korea dalam waktu selama satu setengah tahun. Dan dari yang kudengar dari beberapa arwah penasaran di sana, ada seseorang yang bisa diandalkan untuk membantu menyelesaikan masalah mereka, ia adalah wanita yang kau temui sekarang ini. Karena itulah, aku sengaja minta tolong padanya.



Langsung ke intinya saja, deh. Apakah kau masih ingat obrolan terakhir kita sebelum bencana salju longsor itu terjadi? Kuharap omonganku waktu itu bisa memberimu semangat kembali. Tetaplah berjuang, Jean!



Viele Gruß,



Marco Bott



P.S. : Karena aku tidak bisa bahasa Korea dan orang yang kumintai tolong itu juga tidak bisa bahasa Jerman, makanya kuajak sekalian sesosok arwah penerjemah untuk membantu kami, hahaha...



Tiba-tiba saja Jean teringat kembali perkataan terakhir yang diucapkan Marco tepat sebelum bencana itu terjadi.



"Kalau kau sudah di Korea, jangan lupa potret pemandangan di sana, ya! Kudengar pemandangan Korea di musim dingin sangat indah, lho!"



"Ayolah, Jean-dongsaeng! Jangan buat chingu-mu itu kecewa!" pinta Tae Gong-Sil begitu melihat Jean yang malah tertunduk dan mematung di sebelahnya, seolah-olah ia mendukung isi surat dari Marco itu.



Tae Gong-Sil terhenyak sejenak melihat apa yang dilakukan Jean kemudian. Mahasiswa bermarga Kirstein itu tiba-tiba merogoh saku jaketnya untuk mengambil sesuatu dari dalamnya, yang ternyata adalah sebuah ponsel miliknya. Ia kemudian mengobrak-abrik apapun yang ditampilkan di layar ponselnya demi menemukan sebuah aplikasi. Setelah itu, ia mengarahkan ponsel itu ke hadapannya.



KLIK!



Sebuah pemandangan taman kota Seoul di musim dingin tertangkap oleh kamera ponselnya.



---



Hari ini, seorang mahasiswa bernama Jean Kirstein akan mengucapkan selamat tinggal pada Kota Seoul. Ia telah menyelesaikan kuliah dua tahunnya di sana dengan baik. Bukan itu saja, ia kini mendapatkan sebuah pengalaman yang tidak akan ia lupakan dalam hidupnya. Mulai dari pertemuannya dengan Tae Gong-Sil, ketika ia sebal dengan kebiasaan buruk Tae Gong-Sil, hingga ketika ia memotret sebuah pemandangan Kota Seoul untuk pertama dan terakhir kalinya.



Ngomong-ngomong soal potretan yang berhasil ia dapatkan tempo hari, secara iseng ia melihat kembali hasil jepretannya yang masih tersimpan dalam memori ponselnya.



Jean terbelalak melihat foto itu. Saat ia pergi ke taman bersama Tae Gong-Sil untuk memotret pemandangan taman kota, ia tidak melihat seorangpun kecuali anak-anak kecil di sana. Namun, kali ini ia melihat sesosok pemuda yang ikut tertangkap kameranya. Sosok itu terlihat berdiri di pinggir fotonya, dengan posisi membelakangi kamera namun wajahnya sedikit menoleh ke belakang.



Ia semakin tidak mempercayai matanya sendiri tatkala ia memperhatikan ciri-ciri pemuda itu. Rambut hitam legam, kedua matanya berwarna coklat, dan beberapa bintik di wajahnya – mungkinkah itu Marco?



Teringat olehnya saat-saat setelah ia mendapatkan foto itu. Jika ia tidak salah lihat, ia mendapati Tae Gong-Sil yang mengedipkan salah satu matanya sambil membentuk lingkaran dengan jari telunjuk dan jempolnya sementara ketiga jari lainnya tegak berdiri, namun gestur itu bukan ditujukan kepada Jean.



"Pfft, kau ini, Marco.... Kau pasti bersekongkol dengan si radar hantu itu, 'kan?"



Kemudian ia tersenyum kecil. Ia berubah menjadi lebih tenang karena ia kembali menemukan semangat dalam menekuni hobinya. Semua berkat teman dekatnya serta wanita Korea itu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

1 komentar:

nyash mengatakan...

seru bacanya bagus deh

kental manis

Posting Komentar