Sabtu, 07 Juni 2014

Cerpen - Taktik Gagal Berbuah Manis



          Hari ini adalah hari yang menggembirakan bagi siswa X-6. Pasalnya, seluruh siswa dari kelas tersebut akan piknik ke Pantai Amay. Namun, di antara siswa-siswi yang bersukaria, nampaknya Agatha-lah yang paling senang menanggapinya. Ini terjadi setelah Bu Yesi – sang wali kelas – mengumumkan suatu hal.
          “Anak-anak, hari Minggu kita akan ke Pantai Amay. Tapi, mohon maaf karena Bu Guru tidak bisa ikut jadi Bu Guru menyuruh Pak Rian sebagai guru pendamping kalian. Bagaimana?” tanya Bu Yesi.
          “Setuju, Bu!” jawab anak-anak serempak.
          Ya, Pak Rian adalah seorang guru PPL yang mengajar Geografi di kelas X-6. Rupanya yang tampan dan gaya mengajarnya yang enak dipahami membuat banyak siswi kepincut olehnya, termasuk Agatha sendiri. Belum lagi tersiar kabar bahwa ia masih menyandang predikat ‘jomblo’, membuat para siswi mencari kesempatan untuk menyatakan rasa suka mereka padanya.
          Kembali ke persiapan menuju Pantai Amay. Para siswa kelas X-6 tampak berkumpul di tempat parkir sekolah sambil ditemani mentari pagi yang tak bosan-bosannya menunjukkan wajah cerianya. Ada yang sibuk bergosip, ada yang mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa, bahkan ada yang asyik menonton video dari HP mereka sambil tersenyum mesum.

          “Duuh..., penampilannya Pak Rian kalo mau piknik kayak gimana, ya, nanti...?” bisik Agatha tak karuan di depan temannya, Retno.
          “Kalo mau bilang ganteng, ya ganteng.... Dan ingatlah kalo lo udah kelima kalinya bicara gituan sejak gue jemput lo dari rumah!” jawab Retno dengan sedikit risihnya. Di mata Agatha, sepertinya Retno agak cuek dengan Pak Rian. Tapi, secuek-cueknya dia, bisa jadi dia menaruh perhatian padanya, ‘kan? Oke, lupakan saja.
          Di tengah-tengah obrolan mereka, suara sahutan yang tiba-tiba terdengar mengalihkan perhatian semua siswa. Mereka pun memfokuskan pandangan ke sumber suara itu dan terlihatlah oleh mereka Pak Rian yang tepat  berada di dekat tempat parkir. Ia sudah rapi dengan kaos oblong warna merah lembayung dan celana jeans selutut. Beberapa tetes peluh pun nampak menuruni wajahnya tanpa menghapus ekspresinya yang begitu bersemangat.
          “Selamat pagi, anak-anak!” sapanya.
          “Selamat pagi, Pak Guru!” balas para siswa dengan semangat.
          “Ayo ringkasi semua barangnya, kita akan segera berangkat!” perintah Pak Rian sambil menunjuk ke bis yang terparkir tidak jauh dari tempat parkir sekolah. Seluruh siswa yang mendengar itu segera beranjak dari tempat mereka bercengkerama, menuju bis sekolah sambil membawa beberapa barang mereka sekaligus memastikan tidak ada satupun dari mereka sesuatu yang tertinggal.
---
          Keempat roda bis terus bergulir dengan cepatnya di aspal yang keras nan panas, memaksa semua penumpangnya untuk bersabar menunggu sampai mereka sampai ke tempat tujuan. Mereka yang berada di dalam bis pun tidak kehilangan akal – mereka menggunakan kesempatan itu dengan menyibukkan diri, mulai dari sekedar mengobrol sampai bertualang di alam mimpi.
          Bagaimana dengan Agatha dan Retno?  Agatha sedang mencoba mengajak Retno untuk mengobrol, sedangkan Retno sendiri sedang mencoba mencegah agar ocehan menyebalkan dari Agatha tidak masuk ke saraf pendengarannya dengan cara mengeraskan volume lagu yang ia dengarkan lewat earphone-nya. Nampaknya ia risih karena temannya itu terus saja membicarakan Pak Rian.
          “Duuh..., bisa gak lo ganti topik obrolannya, gitu? Perasaan waktu Pak Rian pertama ngajar di kelas kita, lo gak selebay itu, deh...,” desah Retno sambil melepaskan earphone-nya karena tidak tahan lagi dengan omongan temannya.
          “Maaf..., gue gak bisa melakukannya, teman~! Gue udah terlanjur jadi fangirl-nya, gitu loh~” respon Agatha.
          ‘Nih anak habis kena jampi-jampi atau apa ya, sampai jadi fangirl tingkat akut begitu...,’ batin Retno sambil bengong. Kemudian ia bertanya, “Nah, bisa gak, lo cerita ke gue kenapa lo bisa sampai begitu?”
          “Mau tau aja atau mau tau banget~?” canda Agatha.
          “Eh, gue serius, loh!” respon Retno sambil menatapnya tajam.
          “Oke, lo ingat ‘kan, waktu gue ikut lomba dance sebulan lalu?” tanya Agatha. Retno menganggukkan kepalanya dengan penuh antusias. “Nah..., saat itu Pak Rian nonton pertunjukan gue, tapi saat itu gue gak tau sampai dia bilang sendiri di luar panggung...,”
          “Eh, gue haus berat, nih.... Jajan minum dulu, yuk!” ajak Agatha kepada dua rekan timnya setelah pertunjukan mereka selesai.
          “Kita-kita udah pada bawa minum, kok...,” ujar salah satu rekannya.
          “Lo pergi sendiri gak papa, ‘kan? Kita tunggu di sini, deh...,” sambung rekannya yang satu lagi. Mendengar penuturan dari dua rekannya itu, Agatha langsung meninggalkan mereka berdua dengan wajah masam.
          ‘Ck, gimana sih, mereka? Harusnya paling tidak mereka temenin gue...,’ batin Agatha kesal sambil melewati berbagai stand di sampingnya demi menemukan stand minuman dingin. Saking kesalnya ia terus berjalan ke sana tanpa menyadari sosok yang mengikutinya dari belakang. Sesampainya di stand yang ia cari...
          “Hai, Agatha! Lagi nyari minum dingin, ya~?” tanya seseorang yang sedari tadi mengikutinya. Agatha menengok ke belakang dan menjawab, “Eh? Pak Guru, ya? Iya nih, lagi haus berat soalnya...,” ‘Loh, kok Pak Rian bisa ada di sini?’ batinnya bingung.
          “Tadi Pak Guru lihat dance-mu, loh! Yah, meski badanmu agak gembul, tapi...,” kata Pak Rian, tapi langsung dipotong oleh Agatha, “Yaah..., kalo mau ngatain badan jangan di sini, dong..., malu dengarnya!”
          “Bukan, Pak Guru bukan mau ngatain badanmu, kok.... Tadi dance-mu bagus sekali, loh! Pokoknya keren, deh!” sanggah Pak Rian. “Oh iya, ngomong-ngomong, boleh gak kalo Pak Guru traktir kamu?”
          Kedua mata Agatha membulat seketika. Ia tidak pernah menyangka nasib baik itu akan berpihak padanya saat itu. Dengan girangnya, ia menjawab, “Hah?! Serius?! Aduuh..., makasih banget, ya, Pak Guru~!”
          “Bayangin, kemampuan lo dipuji, udah begitu lo ditraktir pula! Pada seneng apa gak, tuh?” tanya Agatha, mengakhiri ceritanya.
          “Ya seneng banget, lah! Tapi gak usah sampe gitu juga, dong...,” respon Retno. Agatha tidak bicara apa-apa lagi. Dengan ekspresinya yang begitu berbunga-bunga itu, Retno sudah bisa menebak kalau temannya itu asyik menikmati saat-saat yang ia baru saja ceritakan, dan berakhir dengan desahan pasrah dari gadis berhijab itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh tepukan di bahunya yang – lagi-lagi – berasal dari Agatha.
          “Retno, bisa gak lo bantu gue supaya gue bisa nyatakan perasaan suka gue padanya? Ayolah~!” pinta Agatha dengan wajah memelas. Retno hanya facepalm di tempat sambil berpikir bahwa Agatha sudah cukup gila dalam hal ini. Baginya, cukup aneh memang kalau seorang siswi ingin menjalin asmara dengan guru laki-laki yang dikaguminya –ralat, ditaksirnya. Tepatnya, kejadian ini hampir sama anehnya dengan yang ada di beberapa komik romansa keluaran Jepang yang kadang-kadang dibacanya.
          “Bah, ayolah~!” pinta Agatha sekali lagi. Akhirnya Retno menyerah sambil menjawab, “Oke, oke.... Gue akan bantu lo asalkan lo berhenti bersikap lebay begitu!”
          Dengan wajah yang berbinar-binar Agatha memeluk Retno erat-erat sambil berseru, “Aah~! Makasih banget, Retno~!!” Ia tidak mempedulikan teman-teman lain yang melemparkan pandangan apa-yang-salah-dengan-anak-itu ke arahnya.
          “Nah, gue akan dukung lo sepenuhnya asalkan lo berhenti memelukku!” ucap Retno sambil melemparkan pandangan tajamnya ke Agatha lagi.
---
          Sekelompok burung laut melayang-layang di bentangan lazuardi biru. Ombak laut bergulung-gulung bergantian dan berujung pada terdamparnya tumbuh-tumbuhan laut di pasir putih. Pepohonan di pinggir pantai juga menari-nari mengikuti irama angin yang berhembus. Siapapun yang menyaksikan ini pastilah tenteram hatinya.
          Tak kurang dari lima puluh meter dari situ terlihatlah sebuah bis yang terdiam membisu di pinggir pantai. Ia bersama benda-benda lainnya asyik menyaksikan sekompi siswa dari kelas X-6 yang tengah bermain di sana. Tampaknya mereka semua sangat menikmati suasana alam nan tenteram ini, termasuk Agatha dan Retno sendiri. Mereka berdua sedang duduk manis di atas pasir putih.
          “Nah, gue mau kasih tau lo cara supaya lo bisa nyatain perasaan suka lo padanya dengan mudah,” ujar Retno.
          “Kalo gitu, gimana caranya?” tanya Agatha penasaran.
          “Gini, pertama lo coba bantu dia dalam beberapa hal, kayak nyiapin makan siang misalnya, terus kamu nyatakan di tengah-tengahnya, ngerti?”
          “Iya, iya. Lalu?”
          “Kalo cara pertama gak berhasil, cara keduanya itu, lo tarik perhatiannya, misalnya saat lo punya masalah tertentu...,”
          Agatha hanya manggut-manggut begitu mendengar saran yang diajukan oleh Retno. Sambil tersenyum mantap ia berkata, “Oh.... Oke, oke! Makasih, ya! Nanti gue coba lakukan, deh...,”
          “Kalo gitu, gue tinggal dulu, ya? Coba lo lakukan sendiri!” ujar Retno sambil bangkit dan mulai meninggalkan Agatha. Agatha terperangah dan menyahut, “Eh, eh! Masak gue harus lakukan sendiri? Gue ‘kan malu~!”
          “Kalo nyoba sendiri ‘kan lebih baik~” sahut Retno sambil mempercepat langkahnya. Melihat temannya sudah semakin jauh, Agatha hanya cemberut di tempat. Ia pun menggerutu sambil menusuk-nusukkan jarinya ke pasir sambil membatin, ‘Payah..., tuh anak sama aja gak ngedukung gue.... Ya sudahlah kalo gitu...,’ Sepertinya ia sebal dengan apa yang Retno lakukan padanya.
          Akhirnya ia bangkit dari tempatnya bertumpu dan kemudian berjalan ke arah Pak Rian yang tengah mengeluarkan barang-barang yang dibawa dari sekolah. Dengan sedikit gugup ia bertanya, “...Maaf, Pak Guru....  Boleh gak, kalo saya bantu Pak Guru?”
          Pak Rian yang mendengar itu segera menengok ke belakang dan kemudian menjawab sambil menunjuk ke bis, “Wah..., kebetulan sekali! Tolong angkat piring-piring rotan itu kemari, ya!”
          Dengan sigap Agatha bergegas ke dalam bis. Tak lama kemudian, ia sudah keluar dengan beberapa piring rotan di kedua tangannya sambil menyahut, “Pak Guru! Yang ini, kah?”. Karena tahu Agatha kerepotan saat membawanya, Pak Rian mendekatinya sambil berkata, “Betul, yang itu! Pak Guru bantu, ya? Kayaknya kamu repot bawanya...,”
          Begitu Pak Rian mendekati Agatha, ia bisa merasakan degup jantungnya yang begitu kencang. Belum lagi ada semburat merah yang tiba-tiba terbentuk di wajahnya. Ia terus membatin tidak karuan, ‘Apa sekarang gue bisa menyatakan perasaan suka gue pada Pak Guru, ya...?’
          Pak Rian tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuyarkan lamunan Agatha, “Agatha? Kok kamu melamun aja? Ntar kamu kesambet, loh~”
          “Heh?! Aah, Pak Guru nih~” sahut Agatha dengan wajah yang masih berhiaskan semburat merah. Guru PPL itu hanya tertawa kikuk sambil mengambil beberapa piring rotan di tangannya. Saat tangan mereka bersentuhan, semburat itu semakin jelas terlihat di wajah gadis chubby itu. Jantungnya pun berdegup lebih kencang dari sebelumnya.
          ‘Tenang, Agatha, tenang! Setelah naruh piring-piring ini, langsung aja sampaikan...,’ batin Agatha sambil tetap membawa piring-piring rotan itu. Setelah ia selesai dengan urusan itu, ia bertanya, “Err..., ada yang mau dibantu lagi, nih...?”
          “Gak ada, sih.... Urusan beres-beres udah rampung semua,” Mendengar itu, Agatha segera meninggalkan Pak Rian dengan langkah terburu-buru. Dari jauh Pak Rian menyahut, “Ngomong-ngomong, makasih banyak atas bantuannya, ya~”
          ‘Aah!! Payah! Rencana gue gagal total, gue gak sempet bilang...,’ kutuk Agatha dalam hati sambil terus melangkah di sepanjang garis pantai dengan dongkolnya. ‘Oke..., kalo rencana alpha gak terlaksana, sekarang waktunya untuk rencana beta...,’
---
          Sekelompok anak tampak bermain-main di lautan yang biru, menghasilkan cipratan-cipratan yang menabrak kulit mereka di sana-sini. Di antara sekelompok anak tersebut, Agatha juga turut menyipratkan air laut ke arah teman-temannya. Tiba-tiba, ia berhenti melakukan kesibukannya dan berenang agak ke tengah.
          “Hei, Agatha! Emangnya gak papa kalo ke tengah sono? Di situ dalam, loh!” sahut salah satu temannya.
          “Iya, kalo salah sedikit saja bisa-bisa lo tenggelam! Nanti teman-teman malah repot!” timpal temannya yang lain.
          “Udah, tenang aja~ Lo gak tau ya, kalo gue ahlinya berenang. Gue ke sana dulu, ya? Daah~” seru Agatha sambil terus berenang tanpa mempedulikan teriakan dari teman-temannya dari kejauhan.
          Ia terus meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama gelombang laut yang bergulung-gulung. Ia pun menikmati sejuknya air laut sambil ditemani mentari musim panas yang menyorotkan kehangatan ke arahnya. Setelah beberapa saat, ia berhenti sebentar di tengah laut dan membiarkan tubuhnya berguncang mengikuti arus air.
          ‘Oke, aku lakukan!’ batinnya sambil mulai melancarkan aksinya. Ia mengayunkan kedua lengannya kuat-kuat dan berteriak, “TOLONG!! TOLONG!!” Ia pun bergerak agak menjauh sambil memastikan guru pendampingnya itu mengenalinya dari daratan, namun firasatnya mengatakan bahwa triknya akan gagal. Beberapa teman yang menyorotkan pandangan heran ke arahnya sudah lebih dari cukup untuk membuktikannya.
          ‘Yaah..., kok malah jadi begini, sih...?’ pikirnya tidak percaya. Baru saja ia akan mengarah ke tepian, tiba-tiba Agatha merasakan ada yang aneh dengan kedua kakinya yang tidak lagi menyentuh hamparan karang datar, tapi melayang-layang begitu saja. Tak hanya itu, tubuhnya juga terasa semakin berat dan sulit untuk dikontrol. Ia pun mulai menyadari bahwa nasib buruk akan menghampirinya saat itu.
          Sementara itu, Retno sedang asyik mengamati pemandangan sekitar dengan teropong binokulernya. Saat ia sedang mengamati perairan laut, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang dirasa tidak bagus – seseorang di tengah laut yang meronta-ronta minta tolong. Melihat itu, ia terperanjat dan segera menyingkirkan teropong itu dari wajahnya dan mengucek-ucek matanya. Lalu, ia amati lagi dengan teropong itu untuk memastikan bahwa ia sangat mengenali orang yang ada di sana. Sebuah ekspresi tidak percaya kemudian terukir di wajahnya tanpa diharapkan.
          ‘Tunggu, itu ‘kan... AGATHA?!’ batinnya tidak percaya. Karena panik dan tidak tahu harus berbuat apa, Retno segera melesat ke sekelompok anak yang sedang asyik bermain bola kaki bersama Pak Rian. Melihat itu, Pak Rian membalikkan wajahnya dan bertanya, “Retno? Kok kamu ngos-ngosan gitu? Kayaknya panik gitu?”
          “Gawat, Pak Guru...! Ini bener-bener gawat!!” seru Retno panik sambil mencoba mengatur napasnya. “Agatha ada di tengah laut dan kayaknya dia mau tenggelam, Pak Guru!!”
          Semua yang mendengar penuturan Retno tiba-tiba terpaku dan menunjukkan wajah tidak percaya. Pak Rian pun terdiam mendengarnya. Tiba-tiba ia berseru sambil berlari dan melepaskan kaosnya, “Yang laki-laki! Ikut Pak Guru ke tengah laut!” Mendengar perintah itu, dua anak laki-laki segera mengikutinya dari belakang. Mereka yang tidak ikut hanya berharap usaha penyelamatan itu berakhir sukses.
          Tiga laki-laki itu segera menceburkan diri ke lautan dan berenang melesat ke Agatha yang meronta-ronta dengan penuh kepanikan. Mereka pun langsung menuntun Agatha ke tepi pantai. Dengan begitu, dua kabar pun terdengar oleh seluruh siswa. Kabar baiknya adalah Agatha bisa dituntun sampai ke pinggir, dan kabar buruknya, ia keburu pingsan.
          “Waduh, gimana, nih? Agathanya malah pingsan begini...,” ucap Retno panik. Pak Rian sendiri sedang mencoba beberapa cara agar Agatha terbangun. Tampaknya ia juga panik karena usahanya tidak kunjung membuahkan hasil. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan pada saat itu wajahnya tiba-tiba berubah memerah.
          “Pak Guru kenapa? Kok mukanya jadi merah beguitu?” tanya salah satu anak yang ada di dalam rombongan itu.
          “...Soal napas buatan, ya?” timpal anak lain dengan wajah tak bersalah. Mendengar itu, anak-anak lain terperanjat dan mengarahkan pandangan tidak percaya ke arahnya.
          “Err..., iya juga, sih.... Kalo hasilnya nihil terus, ya apa boleh buat...?” ujar Pak Rian, masih dengan rona merah di wajahnya.
          “Kalo gitu, dicoba dulu, lah.... Lagian, cuma ini satu-satunya yang belum dilakukan...,” saran anak itu lagi. Mendengar itu, guru PPL itu perlahan mendekati wajahnya ke arah wajah gadis chubby itu. Sebagian orang yang melihat itu mencoba untuk tidak memperhatikan momen itu, sementara yang lainnya diam saja sambil menahan rona merah mereka supaya tidak nyelonong ke  wajah mereka.
          Saat wajah Pak Rian sudah tinggal beberapa senti lagi di depan wajah Agatha, tiba-tiba sebuah pandangan tajam muncul dan mengejutkannya. Saking kagetnya, ia sempat mundur beberapa langkah dari Agatha. Melihat itu, tawa anak-anak langsung meledak. Retno sendiri sudah bisa menyimpulkan bahwa Agatha baru saja bangun dari pingsannya. Ia pun menghampiri temannya yang sempat terbatuk-batuk karena tersedak air laut.
          “...Uhuk.... Ahem, itu..., Pak Guru kaget, ya?” tanya Agatha begitu melihat guru pendamping kelasnya terduduk lemas dengan wajah yang amat tegang.
          “...Jangan lupa kata ‘banget’nya, Agatha...,” jawab Pak Rian sambil nyengir keledai. Tubuhnya pun kini tidak hanya basah oleh air laut, tapi juga oleh peluhnya sendiri karena sarafnya langsung bekerja ala kadarnya saja. Ia pun membatin, ‘Duuh..., untung aku gak ngidap serangan jantung...,’
          “Hahaha..., maaf deh, kalo gitu~” ujar Agatha sambil menunduk dan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
          “Eh, lo udah gak papa, nih?” tanya Retno cemas.
          “Hehehe..., tenang aja, kawan~ Gue udah lebih baik, kok...,” jawab Agatha santai sambil bangkit dan menepuk-nepuk telinganya supaya air laut bisa keluar. Kemudian, ia mendekati Pak Rian yang masih duduk di depannya sambil berkata, “Err..., anu.... Aku mau bilang sesuatu, nih...,”
          “Bilang soal apa?” tanya Pak Rian sambil tersenyum lembut.
         “Err..., itu...,” ucap Agatha dengan semburat merah yang tiba-tiba menunjukkan diri tepat di wajah tembemnya. Semakin ia terdiam, jantungnya juga berdegup kencang, kurang lebih sama cepatnya dengan irama musik electronic.
          5 detik...
          10 detik...
          15 detik...
          “Woi, kok lo diem aja? Lo jadi nyatakan perasaanmu apa gak, sih?!” Pertanyaan tak sabaran dari Retno sukses membuat beberapa pasang mata di sekitarnya terbelalak seketika. Tidak hanya itu, ia juga sukses menebalkan rona merah alami yang ada di wajah Agatha. Anehnya, Pak Rian justru tertawa kecil, “Ahaha..., ternyata memang benar...,”
          “Apa, sih?” tanya salah satu dari banyak anak yang penasaran dengan apa yang baru saja didengarnya.
          “Pak Guru sudah menduga kalo Agatha suka sama saya sejak lomba dance itu..., kalian ingat ‘kan?” ujar Pak Rian. Mereka yang mendengar itu hanya mengangguk pelan sambil ber-oh berjamaah. Pada saat itu juga, mereka tiba-tiba melontarkan satu kata, “APA?!”
          “Hah? Jadi, Pak Guru...?” ucap Agatha sambil mencoba menyimpulkan semuanya.
          “Kalo mau bilang, kenapa gak langsung aja? Pak Guru pasti terima, kok...,” ujar Pak Rian sambil tersenyum lebar sambil menepuk bahu Agatha. Agatha sendiri senang sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja ia alami. ‘Pasti ini mimpi!’ batinnya.
          Suasana hening sejenak sampai seseorang melontarkan sebuah kalimat tanpa sedikitpun rasa bersalah, “Cie~ Yang baru saja diterima~!” Kesunyian di pantai pun langsung pecah oleh gelak tawa dari seisi rombongan. Agatha tersenyum bahagia karena guru yang ia taksir akhirnya menerima cintanya, sementara Retno tersenyum puas karena berhasil membantu teman dekatnya itu.

0 komentar:

Posting Komentar