Kamis, 21 Maret 2013

Cerpen - Gara-Gara Lomba?


                Pensil, penghapus, pena, penggaris; benar, Kayla dan Olivia akan mengikuti lomba menulis komik yang diadakan oleh sekolah mereka: SMP Pancasila, dan hari itu juga lomba tersebut dilaksanakan. Mereka berdua tampak bersemangat.
                “Kayla, selamat berjuang, ya!”
                “Ow, jangan aku saja, kau juga selamat berjuang, Ollie – nama panggilan Olivia. Siapa tahu kau menang,” jawab Kayla pada Olivia sebelum masuk ke ruangannya – Kayla beda ruang dengan Olivia.
                Lomba pun dimulai. Para peserta  langsung melakukan apa yang diinginkan panitia: menulis sebuah komik yang setidaknya  berjumlah 2 halaman.
***

                2 minggu berlalu. Para siswa sedang berdesak-desakan di depan mading termasuk Kayla dan Ollie. Mereka terlihat tidak sabar melihat siapa yang menang lomba komik tersebut. Kayla mulai memindai – maksudnya membaca sekilas.
                “Hei, kenapa namaku tidak ada, ya?” sahut Kayla bingung.
                “Entahlah, mungkin mereka salah ketik atau ...,” belum selesai bicara tiba-tiba Ollie melihat namanya tercantum di pengumuman.
                “Selamat, Li! Kau menang!!”  sahut Gina sambil mengguncangkan badan Ollie dengan cukup kencang.
                “Terima kasih, Gina. Dan tolong lepaskan tubuhku,” jawab Ollie sambil  meng-glare Gina. Teman Kayla dan Ollie yang berambut bob ini memang agak cerewet. Kalau ada sesuatu sedikit saja, pasti Gina yang jadi biang kehebohannya.
                “He he he, maaf, maaf.  Bagaimana kalau kita ke kantin. Aku lapar, nih. Kamu gimana? Kayla? Aduh, Kayla ke mana, sih?”
                “Iya, dia ke mana, ya?” tiba-tiba Ollie melihat Kayla berjalan di koridor depan perpustakaan.
                “Itu dia! Hei, Kayla!!” teriak Ollie dan Gina.
                “Ya ampun, kamu ini kenapa langsung pergi, sih. Kita tidak bermaksud untuk bersikap kamseupay, tapi ...,” belum selesai Gina bicara, Kayla langsung bergegas meninggalkan Gina dan Ollie.
                Di kelas, Ollie dan Gina membicarakan sikap aneh Kayla barusan. Mereka merasa ada yang salah dengan Kayla. Tidak lama kemudian Rian dan Anto masuk kelas.
                “Eh, apa kalian merasa ada yang aneh dengan Kayla?” tanya Rian.
                “Lho, jadi tadi kalian lihat dia?” tanya Ollie.
                “Iya, waktu kita mau ke kelas, Kayla kelihatannya lagi marah. Tadi waktu kita samperin dia, kita malah dibentakin, betul nggak Rian?” kata Anto.
                “Iya juga, sih. Padahal seingatku, Kayla itu biasanya pendiam, netral-netral gitu, kok,” tukas Rian.
                “Sebentar, jangan-jangan ini ada hubungannya tentang pengumuman lomba tadi. Ada yang sependapat denganku?”
                “Iya, bener. Jangan-jangan Kayla jadi ketus gara-gara pengumuman lomba!” sahut Rian sambil menjentikkan jarinya.
                “Ya sudah, kita samperin dia lagi, yuk!” ajak Ollie sambil menarik lengan Gina.
                “Hoi, tunggu dulu! Sebenarnya Kayla lagi ...,”
                “Nanti aku kabarin lagi! Kalian tunggu di situ!” sahut Ollie setengah berteriak.  Rian dan Anto hanya  saling menatap kebingungan di kelas.
                “KAYLAA!!” sahut Ollie dan Gina sambil terengah-engah.
                “Apa!? Kalian nggak usah pake nyamperin segala, deh!!”  Kayla berbalik dan menyahut dari depan perpustakaan – yang agak jauh dari kelasnya – kemudian kembali meneruskan langkahnya yang entah dia mau ke mana.
                “Gimana, nih? Kayla jadi keras kepala begitu,”
                “Mana aku tahu!?  Kita samperin saja pake dibentak?!” jawab Ollie tidak sabar.
***
                Keesokan harinya, Kayla masih puyeng untuk mengetahui alasan ia kalah dalam lomba komik itu.  Padahal, ia dikenal sebagai komikus kelas yang juga bagian ilustrasi majalah SMP Pancasila. Berbeda dengan Ollie – yang bahkan lebih suka menulis daripada ber-doodle ria – yang ditempatkan di bagian artikel majalah. Jika dipikir-pikir, agak ganjil memang kalau Ollie yang memenangkan lomba tersebut.
                “Kay, ngapain melamun, tuh?” pertanyaan Rian mengagetkan Kayla yang masih asyik  melamun.
                “Tidak apa-apa, kok,” jawab Kayla  dengan tidak acuhnya.
                “Dua hari ini, kamu  dan Ollie nggak kompak. Pasti masalah ‘itu’, ya?” tanya Rian lagi.
                “Bukan urusanmu,” lanjut Kayla ketus sambil menuju pintu kelas.
                “Tunggu sebentar! Kau lupa pembicaraanmu dengan Ollie saat terakhir kali kita kerjakan majalah sekolah sebelum hari lomba dilaksanakan?”  sahut Rian sedikit berteriak.
                Sebenarnya Kayla ingin keluar kelas dan mengabaikan omongan Rian untuk ketiga kalinya, tetapi ia terhenyak sebentar mendengar sahutannya  barusan.
                “Lihat saja, Kayla! Kali ini pasti artikel tulisanku lebih menarik lagi,” tantang Ollie sambil meneruskan ketikannya.
                “Jangan cuma bisa ngomong! Buktikan dulu, baru kau bisa bersikap takabur!” balas Kayla yang tengah mengerjakan ilustrasinya.
                “Ngomong-ngomong, kau tahu soal pamflet yang baru-baru ini dipajang di mading?” tanya Ollie, mengganti topik.
                “Lomba komik di sekolah, ya? Kamu ketinggalan, aku sudah tahu duluan, bleh!” ejek Kayla sambil menarik sedikit kelopak mata kanan-bawahnya turun. “Memangnya  kenapa?” lanjutnya.
                “Tidak ada. Aku  cuma mau bilang sesuatu tentang lomba itu,”
                “Apa itu?”
                “Kalau kamu melanggar aturan, sama saja kamu tidak berguna. Tapi, itu lebih parah lagi kalau kamu  tidak menghargai peserta lain,”
                “Sudah kuduga.... Hei! Komik Naruto-vol. 27-ku belum kamu kembalikan, ya!? Pantasan kamu ikut-ikutan makna pembicaraannya?”
                “Ha  ha ha, maaf, deh. Aku jamin  besok kukembalikan tepat waktu, soalnya tadi pagi  buru-buru,” kata Ollie sambil  cekikikan. Kayla sweatdrop seketika.
                “Tuh, soal ‘tidak berguna’ waktu itu, masa’ kamu lupa?” tanya Rian lagi, kali ini yang keempat kalinya.
                “Hm, iya juga, sih. Ah, bingung aku jadinya. Nanti  saja deh, kuluruskan lagi permasalahannya,” jawab Kayla dengan muka  bingung.  Dengan ini, Rian bisa menghela nafas lega.
                Saat pulang sekolah pun, Kayla masih memikirkan masalah itu: Ollie yang menang lomba komik, ditambah lagi omongannya yang tadi Rian ceritakan. Karena asyik melamunkan dua hal tersebut, ia tidak menyadari kalau ia sudah berjalan semakin ke tengah jalan raya! Belum lagi ada sebuah mobil pick-up yang sedang melaju  dengan kecepatan tinggi ke arahnya!!
                “AWAAASS!!!” teriak seseorang dari seberang yang kemudian berlari ke arahnya. BRAAKKK!! Tabrakan pun tidak terhindarkan. Namun bukan Kayla yang tertabrak, melainkan orang yang tadi meneriakinya dari seberang.
                Orang tadi panjang rambutnya sebahu dan agak ikal..., itu ‘kan Ollie!! Dia baru saja mendorongku ke seberang dan akhirnya tertabrak mobil!? Dia melindungiku sedangkan aku malah membencinya hanya karena pengumuman lomba!? Kayla jadi ingin menyumpah-serapahi dirinya sendiri.  Kalau saja  dia bicara langsung pada Ollie, pasti  tidak akan begini jadinya.
                “Syukurlah..., kau selamat..., Kayla...,” kata Ollie pelan, dan akhirnya dia pingsan.
                Kayla masih tidak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Sebuah ambulans datang ke tempat kejadian dan membawa Ollie ke rumah sakit – atas laporan siswa-siswi lain yang pulang sekolah di jalan yang sama. Gina, Rian, dan Anto yang melihat dari kejauhan terlihat prihatin setelah kecelakaan itu terjadi secara tragis dan mereka – termasuk Kayla – berharap Ollie akan baik-baik saja, itupun juga kehendak Tuhan.
***
                3 hari kemudian, Kayla berjalan ke sekolah dengan wajah murung sejak kecelakaan tersebut. Mengetahui itu, Bu Mona – wali kelas VIII-3 – yang kebetulan sedang berada persis di dekat gerbang sekolah, menghampiri Kayla.
                “Selamat pagi, Bu Mona,” salam Kayla.
                “Selamat pagi juga, Kayla. Ada apa gerangan, wajahmu  kelihatan lesu?”
                “Em, cuma lesu saja, Bu. Itu saja,”
                “Kayla, tidak baik menyembunyikan permasalahan. Jadi, tolong ceritakan pada Ibu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Bu Mona lembut.
                “Menurut Ibu, wajar tidak kalau ada teman yang menang lomba, terus kita jauhi?” tanya Kayla memastikan.
                “Yah..., kalau menurut Ibu sih, memang ada orang yang punya tipe seperti itu. Memangnya kenapa?”
                “Soalnya waktu Ollie juara lomba, aku malah tidak senang, terus gara-gara itu, dia ketabrak mobil. Bu guru punya solusi, nggak?”
                “Ada: kamu ‘kan tinggal menjenguknya sambil minta maaf. Kalau  bisa, ajak teman-teman sekalian,”
                “Terima kasih, Bu guru! Aku coba lakukan!” sahut Kayla sambil bergegas ke ruang Kepala Sekolah dan meminta izin ke rumah sakit.
                Sesampainya di rumah sakit, Kayla segera menanyakan ruang tempat Ollie dirawat. Setelah  mendapatkan informasi, ia melesat ke Kamar Kemuning – Ollie sedang dirawat di ruang itu. Setibanya di depan pintu, ia melihat dokter keluar dari kamar rawat.
                “Permisi, Pak. Bagaimana teman saya?” tanya Kayla penasaran sekaligus deg-degan.
                “Lukanya cukup parah, namun kondisinya stabil. Adik boleh menengoknya di dalam, tetapi tolong jangan berisik,” jawab dokter. Fuh, baguslah kalau dia selamat, pikir Kayla lega. Ia memutuskan untuk masuk ke kamar.
                “Ollie, ini aku,” bisik Kayla dengan suara jelas. Ollie tidak menjawab. Ia terbaring lemah di ranjangnya. Sepertinya ia sedang tidur, pikirnya.
                Kayla memperhatikan Ollie baik-baik. Wajahnya pucat. Sebagian tubuhnya ditutupi perban. Dan ia tidak bernafas. Sebentar, di monitor penunjuk detak jantung, diagramnya masih penuh dengan garis naik-turun. Berarti dia masih koma, gumam Kayla. Karena ia mengantuk – lantaran tidak bisa tidur, memikirkan keadaan Ollie – , Kayla tertidur di dekat ranjang.  Ia  bermimpi berada di suatu tempat. Lalu, ia bertemu  Ollie agak jauh darinya.
                “Ollie, kaukah itu? Ini di mana, sih?” tanya Kayla penasaran.
                “Benar, ini aku. Sebenarnya aku tidak peduli kita di mana, aku cuma ingin bicara,” jawab Ollie.
                “Apa itu?”
                “Kau ingat obrolan kita waktu itu?” tanya Ollie untuk membuat Kayla ingat saat itu.
                “Hm, ya! Aku ingat! Ada apa memangnya?”
                “Kau tahu, aku tidak akan menarik kata-kataku, kecuali jika kamu yang melakukan,”
                “Maksudmu kau tetap menganggapku sahabat?” tanya Kayla bingung. Ollie hanya  mengangguk. “Terima kasih, Kayla,” perlahan Ollie menghilang dari pandangan Kayla. Ia tidak percaya akan hal ini. Karena terlalu bingung, ia pun terbangun.
                “Ollie, jangan tinggalkan a...,” sahut Kayla terbangun. Tapi, ia menjerit tiba-tiba melihat Ollie yang wajahnya sedang pucat terbangun. “KYAAA! ZOMBII!!”
                “Woi, zombi dari Hong Kong-mu! Aku masih hidup, bego!” balas Ollie sebal karena ia disangka zombi. “Lho, Kayla, kenapa kamu di sini? Ini di rumah sakit, ‘kan?” Ollie penasaran.
                “Lupakan saja, aku cuma mau minta maaf. Waktu itu aku tidak senang karena kamu juara lomba, padahal sahabat itu harusnya senang kalau temannya beruntung, dan aku malah sebaliknya,” jelas Kayla sambil berlinangkan air mata.
                “Sudahlah, semua orang itu pernah salah. Aku terima permintaan maafmu,” jawab Ollie, dengan keadaan yang sama dengan Kayla. Mereka pun berpelukan.
                “Baiklah! Sebagai bukti permintaan maafku, aku akan tulis komik lalu di-upload di akun deviantArt-ku. Kapan-kapan lihat, ya?”  kata Kayla sambil mengepalkan  tangannya.
                “Oh, tentu saja. Masa’ aku  tidak mau?” jawab Ollie setuju. Mereka berdua tertawa bersama.
 ***
Sori kalo jelek.... =v="

0 komentar:

Posting Komentar