Hari ini adalah hari yang
menggembirakan bagi siswa X-6. Pasalnya, seluruh siswa dari kelas tersebut akan
piknik ke Pantai Amay. Namun, di antara siswa-siswi yang bersukaria, nampaknya
Agatha-lah yang paling senang menanggapinya. Ini terjadi setelah Bu Yesi – sang
wali kelas – mengumumkan suatu hal.
“Anak-anak, hari Minggu kita akan ke
Pantai Amay. Tapi, mohon maaf karena Bu Guru tidak bisa ikut jadi Bu Guru
menyuruh Pak Rian sebagai guru pendamping kalian. Bagaimana?” tanya Bu Yesi.
“Setuju, Bu!” jawab anak-anak
serempak.
Ya, Pak Rian adalah seorang guru PPL
yang mengajar Geografi di kelas X-6. Rupanya yang tampan dan gaya mengajarnya
yang enak dipahami membuat banyak siswi kepincut olehnya, termasuk Agatha
sendiri. Belum lagi tersiar kabar bahwa ia masih menyandang predikat ‘jomblo’,
membuat para siswi mencari kesempatan untuk menyatakan rasa suka mereka
padanya.
Kembali ke persiapan menuju Pantai
Amay. Para siswa kelas X-6 tampak berkumpul di tempat parkir sekolah sambil
ditemani mentari pagi yang tak bosan-bosannya menunjukkan wajah cerianya. Ada
yang sibuk bergosip, ada yang mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa,
bahkan ada yang asyik menonton video dari HP mereka sambil tersenyum mesum.
“Duuh..., penampilannya Pak Rian kalo
mau piknik kayak gimana, ya, nanti...?” bisik Agatha tak karuan di depan
temannya, Retno.
“Kalo mau bilang ganteng, ya
ganteng.... Dan ingatlah kalo lo udah kelima kalinya bicara gituan sejak gue
jemput lo dari rumah!” jawab Retno dengan sedikit risihnya. Di mata Agatha,
sepertinya Retno agak cuek dengan Pak Rian. Tapi, secuek-cueknya dia, bisa jadi
dia menaruh perhatian padanya, ‘kan? Oke, lupakan saja.
Di tengah-tengah obrolan mereka, suara
sahutan yang tiba-tiba terdengar mengalihkan perhatian semua siswa. Mereka pun
memfokuskan pandangan ke sumber suara itu dan terlihatlah oleh mereka Pak Rian
yang tepat berada di dekat tempat
parkir. Ia sudah rapi dengan kaos oblong warna merah lembayung dan celana jeans
selutut. Beberapa tetes peluh pun nampak menuruni wajahnya tanpa menghapus
ekspresinya yang begitu bersemangat.
“Selamat pagi, anak-anak!” sapanya.
“Selamat pagi, Pak Guru!” balas para
siswa dengan semangat.
“Ayo ringkasi semua barangnya, kita
akan segera berangkat!” perintah Pak Rian sambil menunjuk ke bis yang terparkir
tidak jauh dari tempat parkir sekolah. Seluruh siswa yang mendengar itu segera
beranjak dari tempat mereka bercengkerama, menuju bis sekolah sambil membawa
beberapa barang mereka sekaligus memastikan tidak ada satupun dari mereka
sesuatu yang tertinggal.
---
Keempat roda bis terus bergulir dengan
cepatnya di aspal yang keras nan panas, memaksa semua penumpangnya untuk
bersabar menunggu sampai mereka sampai ke tempat tujuan. Mereka yang berada di
dalam bis pun tidak kehilangan akal – mereka menggunakan kesempatan itu dengan
menyibukkan diri, mulai dari sekedar mengobrol sampai bertualang di alam mimpi.
Bagaimana dengan Agatha dan
Retno? Agatha sedang mencoba mengajak
Retno untuk mengobrol, sedangkan Retno sendiri sedang mencoba mencegah agar
ocehan menyebalkan dari Agatha tidak masuk ke saraf pendengarannya dengan cara
mengeraskan volume lagu yang ia dengarkan lewat earphone-nya. Nampaknya
ia risih karena temannya itu terus saja membicarakan Pak Rian.
“Duuh..., bisa gak lo ganti topik
obrolannya, gitu? Perasaan waktu Pak Rian pertama ngajar di kelas kita, lo gak
selebay itu, deh...,” desah Retno sambil melepaskan earphone-nya karena
tidak tahan lagi dengan omongan temannya.
“Maaf..., gue gak bisa melakukannya,
teman~! Gue udah terlanjur jadi fangirl-nya, gitu loh~” respon Agatha.
‘Nih anak habis kena jampi-jampi
atau apa ya, sampai jadi fangirl tingkat akut begitu...,’ batin Retno
sambil bengong. Kemudian ia bertanya, “Nah, bisa gak, lo cerita ke gue kenapa
lo bisa sampai begitu?”
“Mau tau aja atau mau tau banget~?”
canda Agatha.
“Eh, gue serius, loh!” respon Retno
sambil menatapnya tajam.
“Oke, lo ingat ‘kan, waktu gue ikut
lomba dance sebulan lalu?” tanya Agatha. Retno menganggukkan kepalanya dengan
penuh antusias. “Nah..., saat itu Pak Rian nonton pertunjukan gue, tapi saat
itu gue gak tau sampai dia bilang sendiri di luar panggung...,”
“Eh, gue haus berat, nih.... Jajan
minum dulu, yuk!” ajak Agatha kepada dua rekan timnya setelah pertunjukan
mereka selesai.
“Kita-kita udah pada bawa minum,
kok...,” ujar salah satu rekannya.
“Lo pergi sendiri gak papa, ‘kan? Kita
tunggu di sini, deh...,” sambung rekannya yang satu lagi. Mendengar penuturan
dari dua rekannya itu, Agatha langsung meninggalkan mereka berdua dengan wajah
masam.
‘Ck, gimana sih, mereka? Harusnya paling tidak mereka
temenin gue...,’ batin Agatha kesal sambil melewati berbagai stand di
sampingnya demi menemukan stand minuman dingin. Saking kesalnya ia terus
berjalan ke sana tanpa menyadari sosok yang mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di stand yang ia cari...
“Hai, Agatha! Lagi nyari minum dingin,
ya~?” tanya seseorang yang sedari tadi mengikutinya. Agatha menengok ke
belakang dan menjawab, “Eh? Pak Guru, ya? Iya nih, lagi haus berat soalnya...,”
‘Loh, kok Pak Rian bisa ada di
sini?’ batinnya bingung.
“Tadi Pak Guru lihat dance-mu, loh!
Yah, meski badanmu agak gembul, tapi...,” kata Pak Rian, tapi langsung dipotong
oleh Agatha, “Yaah..., kalo mau ngatain badan jangan di sini, dong..., malu
dengarnya!”
“Bukan, Pak Guru bukan mau ngatain
badanmu, kok.... Tadi dance-mu bagus sekali, loh! Pokoknya keren, deh!” sanggah
Pak Rian. “Oh iya, ngomong-ngomong, boleh gak kalo Pak Guru traktir kamu?”
Kedua mata Agatha membulat seketika.
Ia tidak pernah menyangka nasib baik itu akan berpihak padanya saat itu. Dengan
girangnya, ia menjawab, “Hah?! Serius?! Aduuh..., makasih banget, ya, Pak
Guru~!”
“Bayangin, kemampuan lo dipuji, udah begitu lo ditraktir
pula! Pada seneng apa gak, tuh?” tanya Agatha, mengakhiri ceritanya.
“Ya seneng banget, lah! Tapi gak usah
sampe gitu juga, dong...,” respon Retno. Agatha tidak bicara apa-apa lagi.
Dengan ekspresinya yang begitu berbunga-bunga itu, Retno sudah bisa menebak
kalau temannya itu asyik menikmati saat-saat yang ia baru saja ceritakan, dan berakhir
dengan desahan pasrah dari gadis berhijab itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh
tepukan di bahunya yang – lagi-lagi – berasal dari Agatha.
“Retno, bisa gak lo bantu gue supaya
gue bisa nyatakan perasaan suka gue padanya? Ayolah~!” pinta Agatha dengan
wajah memelas. Retno hanya facepalm di tempat sambil berpikir bahwa
Agatha sudah cukup gila dalam hal ini. Baginya, cukup aneh memang kalau seorang
siswi ingin menjalin asmara dengan guru laki-laki yang dikaguminya –ralat, ditaksirnya.
Tepatnya, kejadian ini hampir sama anehnya dengan yang ada di beberapa komik
romansa keluaran Jepang yang kadang-kadang dibacanya.
“Bah, ayolah~!” pinta Agatha sekali
lagi. Akhirnya Retno menyerah sambil menjawab, “Oke, oke.... Gue akan bantu lo
asalkan lo berhenti bersikap lebay begitu!”
Dengan wajah yang berbinar-binar
Agatha memeluk Retno erat-erat sambil berseru, “Aah~! Makasih banget, Retno~!!”
Ia tidak mempedulikan teman-teman lain yang melemparkan pandangan
apa-yang-salah-dengan-anak-itu ke arahnya.
“Nah, gue akan dukung lo sepenuhnya
asalkan lo berhenti memelukku!” ucap Retno sambil melemparkan pandangan
tajamnya ke Agatha lagi.
---
Sekelompok burung laut melayang-layang
di bentangan lazuardi biru. Ombak laut bergulung-gulung bergantian dan berujung
pada terdamparnya tumbuh-tumbuhan laut di pasir putih. Pepohonan di pinggir
pantai juga menari-nari mengikuti irama angin yang berhembus. Siapapun yang
menyaksikan ini pastilah tenteram hatinya.
Tak kurang dari lima puluh meter dari
situ terlihatlah sebuah bis yang terdiam membisu di pinggir pantai. Ia bersama
benda-benda lainnya asyik menyaksikan sekompi siswa dari kelas X-6 yang tengah
bermain di sana. Tampaknya mereka semua sangat menikmati suasana alam nan
tenteram ini, termasuk Agatha dan Retno sendiri. Mereka berdua sedang duduk
manis di atas pasir putih.
“Nah, gue mau kasih tau lo cara supaya
lo bisa nyatain perasaan suka lo padanya dengan mudah,” ujar Retno.
“Kalo gitu, gimana caranya?” tanya
Agatha penasaran.
“Gini, pertama lo coba bantu dia dalam
beberapa hal, kayak nyiapin makan siang misalnya, terus kamu nyatakan di
tengah-tengahnya, ngerti?”
“Iya, iya. Lalu?”
“Kalo cara pertama gak berhasil, cara
keduanya itu, lo tarik perhatiannya, misalnya saat lo punya masalah tertentu...,”
Agatha hanya manggut-manggut begitu
mendengar saran yang diajukan oleh Retno. Sambil tersenyum mantap ia berkata,
“Oh.... Oke, oke! Makasih, ya! Nanti gue coba lakukan, deh...,”
“Kalo gitu, gue tinggal dulu, ya? Coba
lo lakukan sendiri!” ujar Retno sambil bangkit dan mulai meninggalkan Agatha.
Agatha terperangah dan menyahut, “Eh, eh! Masak gue harus lakukan sendiri? Gue
‘kan malu~!”
“Kalo nyoba sendiri ‘kan lebih baik~”
sahut Retno sambil mempercepat langkahnya. Melihat temannya sudah semakin jauh,
Agatha hanya cemberut di tempat. Ia pun menggerutu sambil menusuk-nusukkan
jarinya ke pasir sambil membatin, ‘Payah..., tuh anak sama aja gak ngedukung
gue.... Ya sudahlah kalo gitu...,’ Sepertinya ia sebal dengan apa yang
Retno lakukan padanya.
Akhirnya ia bangkit dari tempatnya
bertumpu dan kemudian berjalan ke arah Pak Rian yang tengah mengeluarkan barang-barang yang dibawa dari sekolah. Dengan
sedikit gugup ia bertanya, “...Maaf, Pak Guru.... Boleh gak, kalo saya bantu Pak Guru?”
Pak Rian yang mendengar itu segera
menengok ke belakang dan kemudian menjawab sambil menunjuk ke bis, “Wah...,
kebetulan sekali! Tolong angkat piring-piring rotan itu kemari, ya!”
Dengan sigap Agatha bergegas ke dalam
bis. Tak lama kemudian, ia sudah keluar dengan beberapa piring rotan di kedua
tangannya sambil menyahut, “Pak Guru! Yang ini, kah?”. Karena tahu Agatha
kerepotan saat membawanya, Pak Rian mendekatinya sambil berkata, “Betul, yang
itu! Pak Guru bantu, ya? Kayaknya kamu repot bawanya...,”
Begitu Pak Rian mendekati Agatha, ia
bisa merasakan degup jantungnya yang begitu kencang. Belum lagi ada semburat
merah yang tiba-tiba terbentuk di wajahnya. Ia terus membatin tidak karuan, ‘Apa
sekarang gue bisa menyatakan perasaan suka gue pada Pak Guru, ya...?’
Pak Rian tiba-tiba melontarkan sebuah
pertanyaan dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuyarkan lamunan Agatha,
“Agatha? Kok kamu melamun aja? Ntar kamu kesambet, loh~”
“Heh?! Aah, Pak Guru nih~” sahut
Agatha dengan wajah yang masih berhiaskan semburat merah. Guru PPL itu hanya
tertawa kikuk sambil mengambil beberapa piring rotan di tangannya. Saat tangan
mereka bersentuhan, semburat itu semakin jelas terlihat di wajah gadis chubby
itu. Jantungnya pun berdegup lebih kencang dari sebelumnya.
‘Tenang, Agatha, tenang! Setelah
naruh piring-piring ini, langsung aja sampaikan...,’ batin Agatha sambil
tetap membawa piring-piring rotan itu. Setelah ia selesai dengan urusan itu, ia
bertanya, “Err..., ada yang mau dibantu lagi, nih...?”
“Gak ada, sih.... Urusan beres-beres
udah rampung semua,” Mendengar itu, Agatha segera meninggalkan Pak Rian dengan
langkah terburu-buru. Dari jauh Pak Rian menyahut, “Ngomong-ngomong, makasih
banyak atas bantuannya, ya~”
‘Aah!! Payah! Rencana gue gagal
total, gue gak sempet bilang...,’ kutuk Agatha dalam hati sambil terus
melangkah di sepanjang garis pantai dengan dongkolnya. ‘Oke..., kalo rencana
alpha gak terlaksana, sekarang waktunya untuk rencana beta...,’
---
Sekelompok anak tampak bermain-main di
lautan yang biru, menghasilkan cipratan-cipratan yang menabrak kulit mereka di
sana-sini. Di antara sekelompok anak tersebut, Agatha juga turut menyipratkan
air laut ke arah teman-temannya. Tiba-tiba, ia berhenti melakukan kesibukannya
dan berenang agak ke tengah.
“Hei, Agatha! Emangnya gak papa kalo
ke tengah sono? Di situ dalam, loh!” sahut salah satu temannya.
“Iya, kalo salah sedikit saja
bisa-bisa lo tenggelam! Nanti teman-teman malah repot!” timpal temannya yang
lain.
“Udah, tenang aja~ Lo gak tau ya, kalo
gue ahlinya berenang. Gue ke sana dulu, ya? Daah~” seru Agatha sambil terus
berenang tanpa mempedulikan teriakan dari teman-temannya dari kejauhan.
Ia terus meliuk-liukkan tubuhnya
mengikuti irama gelombang laut yang bergulung-gulung. Ia pun menikmati sejuknya
air laut sambil ditemani mentari musim panas yang menyorotkan kehangatan ke
arahnya. Setelah beberapa saat, ia berhenti sebentar di tengah laut dan
membiarkan tubuhnya berguncang mengikuti arus air.
‘Oke, aku lakukan!’ batinnya
sambil mulai melancarkan aksinya. Ia mengayunkan kedua lengannya kuat-kuat dan
berteriak, “TOLONG!! TOLONG!!” Ia pun bergerak agak menjauh sambil memastikan
guru pendampingnya itu mengenalinya dari daratan, namun firasatnya mengatakan
bahwa triknya akan gagal. Beberapa teman yang menyorotkan pandangan heran ke
arahnya sudah lebih dari cukup untuk membuktikannya.
‘Yaah..., kok malah jadi begini,
sih...?’ pikirnya tidak percaya. Baru saja ia akan mengarah ke tepian,
tiba-tiba Agatha merasakan ada yang aneh dengan kedua kakinya yang tidak lagi
menyentuh hamparan karang datar, tapi melayang-layang begitu saja. Tak hanya
itu, tubuhnya juga terasa semakin berat dan sulit untuk dikontrol. Ia pun mulai
menyadari bahwa nasib buruk akan menghampirinya saat itu.
Sementara itu, Retno sedang asyik
mengamati pemandangan sekitar dengan teropong binokulernya. Saat ia sedang
mengamati perairan laut, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang dirasa tidak
bagus – seseorang di tengah laut yang meronta-ronta minta tolong. Melihat itu,
ia terperanjat dan segera menyingkirkan teropong itu dari wajahnya dan
mengucek-ucek matanya. Lalu, ia amati lagi dengan teropong itu untuk memastikan
bahwa ia sangat mengenali orang yang ada di sana. Sebuah ekspresi tidak percaya
kemudian terukir di wajahnya tanpa diharapkan.
‘Tunggu, itu ‘kan... AGATHA?!’
batinnya tidak percaya. Karena panik dan tidak tahu harus berbuat apa, Retno
segera melesat ke sekelompok anak yang sedang asyik bermain bola kaki bersama
Pak Rian. Melihat itu, Pak Rian membalikkan wajahnya dan bertanya, “Retno? Kok
kamu ngos-ngosan gitu? Kayaknya panik gitu?”
“Gawat, Pak Guru...! Ini bener-bener
gawat!!” seru Retno panik sambil mencoba mengatur napasnya. “Agatha ada di
tengah laut dan kayaknya dia mau tenggelam, Pak Guru!!”
Semua yang mendengar penuturan Retno
tiba-tiba terpaku dan menunjukkan wajah tidak percaya. Pak Rian pun terdiam
mendengarnya. Tiba-tiba ia berseru sambil berlari dan melepaskan kaosnya, “Yang
laki-laki! Ikut Pak Guru ke tengah laut!” Mendengar perintah itu, dua anak
laki-laki segera mengikutinya dari belakang. Mereka yang tidak ikut hanya
berharap usaha penyelamatan itu berakhir sukses.
Tiga laki-laki itu segera menceburkan
diri ke lautan dan berenang melesat ke Agatha yang meronta-ronta dengan penuh
kepanikan. Mereka pun langsung menuntun Agatha ke tepi pantai. Dengan begitu,
dua kabar pun terdengar oleh seluruh siswa. Kabar baiknya adalah Agatha bisa
dituntun sampai ke pinggir, dan kabar buruknya, ia keburu pingsan.
“Waduh, gimana, nih? Agathanya malah
pingsan begini...,” ucap Retno panik. Pak Rian sendiri sedang mencoba beberapa
cara agar Agatha terbangun. Tampaknya ia juga panik karena usahanya tidak
kunjung membuahkan hasil. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan pada saat itu
wajahnya tiba-tiba berubah memerah.
“Pak Guru kenapa? Kok mukanya jadi
merah beguitu?” tanya salah satu anak yang ada di dalam rombongan itu.
“...Soal napas buatan, ya?” timpal
anak lain dengan wajah tak bersalah. Mendengar itu, anak-anak lain terperanjat
dan mengarahkan pandangan tidak percaya ke arahnya.
“Err..., iya juga, sih.... Kalo
hasilnya nihil terus, ya apa boleh buat...?” ujar Pak Rian, masih dengan rona
merah di wajahnya.
“Kalo gitu, dicoba dulu, lah....
Lagian, cuma ini satu-satunya yang belum dilakukan...,” saran anak itu lagi. Mendengar
itu, guru PPL itu perlahan mendekati wajahnya ke arah wajah gadis chubby
itu. Sebagian orang yang melihat itu mencoba untuk tidak memperhatikan momen
itu, sementara yang lainnya diam saja sambil menahan rona merah mereka supaya
tidak nyelonong ke wajah mereka.
Saat wajah Pak Rian sudah tinggal
beberapa senti lagi di depan wajah Agatha, tiba-tiba sebuah pandangan tajam
muncul dan mengejutkannya. Saking kagetnya, ia sempat mundur beberapa langkah
dari Agatha. Melihat itu, tawa anak-anak langsung meledak. Retno sendiri sudah
bisa menyimpulkan bahwa Agatha baru saja bangun dari pingsannya. Ia pun
menghampiri temannya yang sempat terbatuk-batuk karena tersedak air laut.
“...Uhuk.... Ahem, itu..., Pak Guru
kaget, ya?” tanya Agatha begitu melihat guru pendamping kelasnya terduduk lemas
dengan wajah yang amat tegang.
“...Jangan lupa kata ‘banget’nya,
Agatha...,” jawab Pak Rian sambil nyengir keledai. Tubuhnya pun kini tidak
hanya basah oleh air laut, tapi juga oleh peluhnya sendiri karena sarafnya
langsung bekerja ala kadarnya saja. Ia pun membatin, ‘Duuh..., untung aku
gak ngidap serangan jantung...,’
“Hahaha..., maaf deh, kalo gitu~” ujar
Agatha sambil menunduk dan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Eh, lo udah gak papa, nih?” tanya
Retno cemas.
“Hehehe..., tenang aja, kawan~ Gue
udah lebih baik, kok...,” jawab Agatha santai sambil bangkit dan menepuk-nepuk
telinganya supaya air laut bisa keluar. Kemudian, ia mendekati Pak Rian yang
masih duduk di depannya sambil berkata, “Err..., anu.... Aku mau bilang
sesuatu, nih...,”
“Bilang soal apa?” tanya Pak Rian
sambil tersenyum lembut.
“Err..., itu...,” ucap Agatha dengan semburat
merah yang tiba-tiba menunjukkan diri tepat di wajah tembemnya. Semakin ia
terdiam, jantungnya juga berdegup kencang, kurang lebih sama cepatnya dengan
irama musik electronic.
5 detik...
10 detik...
15 detik...
“Woi, kok lo diem aja? Lo jadi nyatakan
perasaanmu apa gak, sih?!” Pertanyaan tak sabaran dari Retno sukses membuat
beberapa pasang mata di sekitarnya terbelalak seketika. Tidak hanya itu, ia
juga sukses menebalkan rona merah alami yang ada di wajah Agatha. Anehnya, Pak
Rian justru tertawa kecil, “Ahaha..., ternyata memang benar...,”
“Apa, sih?” tanya salah satu dari
banyak anak yang penasaran dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Pak Guru sudah menduga kalo Agatha
suka sama saya sejak lomba dance itu..., kalian ingat ‘kan?” ujar Pak Rian.
Mereka yang mendengar itu hanya mengangguk pelan sambil ber-oh berjamaah. Pada
saat itu juga, mereka tiba-tiba melontarkan satu kata, “APA?!”
“Hah? Jadi, Pak Guru...?” ucap Agatha
sambil mencoba menyimpulkan semuanya.
“Kalo mau bilang, kenapa gak langsung
aja? Pak Guru pasti terima, kok...,” ujar Pak Rian sambil tersenyum lebar
sambil menepuk bahu Agatha. Agatha sendiri senang sekaligus tidak percaya
dengan apa yang baru saja ia alami. ‘Pasti ini mimpi!’ batinnya.
Suasana hening sejenak sampai seseorang
melontarkan sebuah kalimat tanpa sedikitpun rasa bersalah, “Cie~ Yang baru saja
diterima~!” Kesunyian di pantai pun langsung pecah oleh gelak tawa dari seisi
rombongan. Agatha tersenyum bahagia karena guru yang ia taksir akhirnya
menerima cintanya, sementara Retno tersenyum puas karena berhasil membantu
teman dekatnya itu.
0 komentar:
Posting Komentar