Halo... :3
Wew..., baru-baru ini saya suka iseng nulis fanfic di smartphone. Ternyata asik juga, ya... apalagi kalo laptop lagi lemot... :v
Nah, sekarang saya mau ngasih fanfic pertamaku. (Readers: Kenapa gak ke FFn/FanFiction.net aja?) Yah, yang saya tahu di sana banyak penulis elit dan saya agak malu kalo harus upload ke sana... :P
Notes and warnings:
- Hetalia belongs to Hidekazu Himaruya.
- Genre: niatnya friendship + tragedy, tapi gak tahu deh kalo malah gak nyambung... :v
- Slight PruHun atau AusHun, chara death inside! D:
- Kemungkinan OOC, alur yang berantakan, atau diksi gak jelas tetap ada~ :v
- Human names used.
- Medieval AU.
Elizaveta, Roderich, dan Gilbert; mereka adalah sahabat sejak kecil. Tahun demi tahun berlalu dan pada suatu hari ketahuan kalau keluarga Edelstein berniat menjodohkan Roderich dengan Elizaveta. Gilbert mendengar itu sendiri, langsung dari Roderich; dan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tak terduga, yang ditujukan untuk Elizaveta.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seorang wanita berambut panjang dan
seorang pria berkacamata memasuki sebuah ruangan gelap. Terlihat sebuah peti
tepat di depan mereka. Kemudian, dibukanya peti tersebut. Sang wanita mengambil
sebilah pedang dan sehelai jubah lusuh di dalamnya. Mereka pun terdiam sejenak,
teringat akan orang terdekat mereka.
---
Tiga orang anak terlihat sedang bermain
dengan gembira di sebuah bukit yang hijau. Angin sepoi menghempas tubuh mereka
dengan lembut. Mereka adalah Gilbert, Roderich, dan Elizaveta. Mereka adalah
sahabat sejak mereka kecil. Meski mereka berbeda derajat – Roderich dari
keluarga bangsawan, Elizaveta dari keluarga kerajaan, Gilbert dari keluarga
sederhana – namun mereka memperlakukan satu sama lain seakan-akan derajat
mereka sama.
"Menyerahlah kau, wahai naga buas
pengganggu!" seru Gilbert sambil mengacung-acungkan pedang kayunya ke arah
Roderich.
"Arrr..., kau harus mengalahkanku
dulu, barulah gadis itu aku lepaskan...," balas Roderich dengan suara yang
dibuat sangar.
"Aaahhh, tolong selamatkan aku,
Gilbert...!" seru Elizaveta dengan kedua tangan yang digenggam Roderich
erat-erat.
"Tenanglah Putri Elizaveta, sang
ksatria awesome ini akan segera menolongmu...! Hyaa...!!" seru Gilbert
sambil berlari dan kemudian mengayunkan pedang kayunya ke arah Roderich.
Trak! Roderich menahan serangan Gilbert
dengan papan kayu yang dia dapatkan entah dari mana. Gilbert berusaha mendesak, sampai-sampai
mereka tidak menyadari bahwa mereka mendekati bagian bukit yang sedikit curam.
Akhirnya mereka jatuh dan terguling ke bawah. Karena kaget, Elizaveta mematung
sejenak sampai terdengar kata-kata yang keluar dari mulut Gilbert dan Roderich
secara bersamaan:
"Tenang saja, Elizaveta! Kami tidak
apa-apa!"
"Ahahaha..., syukurlah...,"
jawab Elizaveta sambil turun dan tertawa kecil. Terdengar tawa dari kedua anak
laki-laki tersebut.
"Kau tahu, aku benar-benar khawatir
dengan kalian...," kata Elizaveta cemas.
"Memangnya kenapa?" tanya
Gilbert, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Kau benar, Elizaveta. Lagipula,
sekarang kerajaan ini sedang perang. Kalau salah sedikit saja, tidak tahu apa
yang akan terjadi dengan kita...," jawab Roderich membenarkan kata-kata
kawan perempuannya itu.
"Tapi, kalian tidak perlu bersikap
begitu. Hadapi saja seolah-olah tidak ada hal buruk yang terjadi," balas
Gilbert optimis. Roderich dan Elizaveta tersenyum mendengarnya.
"Benar juga. Oh, lebih baik kita
pulang sekarang. Orang tua kita pasti cemas mencari kita," kata Roderich.
"Iya. Kalau sampai ketahuan ayah,
habislah aku," jawab Elizaveta. "Gilbert, kau tidak keberatan 'kan
kalau kami pulang?"
"Tidak apa-apa, kawan. Besok kita
main lagi, ya?" jawab Gilbert.
"Oke. Sampai jumpa, kawan!"
sahut Roderich dan Elizaveta. Gilbert hanya membalasnya dengan lambaian tangan.
---
Tujuh tahun berlalu. Gilbert, Roderich,
dan Elizaveta tumbuh menjadi remaja yang dikenal sebagian besar orang sebagai
tiga sahabat yang selalu akur. Dan saat-saat itulah yang seharusnya menjadi
momen yang diinginkan Gilbert: menyatakan perasaannya kepada Elizaveta. Ya, dia
mulai menyukai Elizaveta sejak pertama berteman dengannya. Dia menyukai
Elizaveta karena rupanya yang cantik bak bunga edelweiss, juga keberaniannya
yang membuatnya lebih seperti ksatria wanita ketimbang putri kerajaan.
Keberanian Elizaveta jelas terlihat saat ia pernah tanpa takut memukuli
anak-anak yang berani mengganggu Gilbert dan Roderich, dengan menggunakan pan
penggorengan.
"Hei, Gilbert! Kau dari tadi melamun
terus, ada apa denganmu?" kata Roderich sambil menepuk bahu Gilbert dengan
cukup keras.
"Ya ampun, nyaris saja jantungku
copot. Kau ini membuatku kaget saja...," sahut Gilbert, hampir naik pitam.
"Ahahaha..., maaf, maaf.... Tapi,
kulihat kau melamun terus. Apa yang kau lamunkan, Tuan Awesome?" tanya
Roderich sambil berkelakar.
"Anu, sebenarnya aku...,"
Roderich menunggu sampai satu frasa – atau setidaknya satu kata – keluar dari
mulut Gilbert, "...suka dengan Elizaveta...," kata Gilbert pelan.
"Kau suka dengan Elizaveta?!"
seru Roderich setengah teriak, tanpa memperdulikan tempat mereka berada yang
sedang ramai-ramainya. Gilbert hanya mengangguk sambil berkata, "Itu
benar, Roderich. Tapi, lain kali jangan sampai teriak begitu...,"
"Uhm, maaf, aku benar-benar tidak
menyangka kau menyukainya...,"
"Begitulah..., lantas kenapa air
mukamu jadi aneh begitu?"
"Baik, mungkin kau tidak akan
menyukai ini, tapi...,"
"Tuan muda! Nyonya Edelstein
mencarimu dari tadi!" sahutan pengawal keluarga Edelstein memotong obrolan
mereka.
"Ada apa, pengawal?" tanya
Roderich.
"Ayo kita pulang, tuan muda. Tuan
dan Nyonya Edelstein akan menunangkanmu dengan Putri Hèdèrvary," jawab
sang pengawal. Gilbert tidak percaya dengan kalimat terakhir yang baru saja
dilontarkan itu.
"Apa yang..., baru saja dia
katakan?"
"Itu yang mau aku katakan dari tadi,
Gilbert. Ayah dan ibuku akan menunangkanku dengan Elizaveta. Sebenarnya aku
agak keberatan, tapi mereka terus memaksa...," jelas Roderich.
"Baiklah, Roderich. Aku mengerti
semuanya. Oke, aku harus pulang sekarang, adikku Ludwig pasti sudah lama
menungguku," kata Gilbert, berbalik dan pulang dengan beberapa bulir air
mata yang membasahi pipinya, tepat seperti yang Roderich duga dalam
perjalanannya pulang ke kediamannya.
"Maafkan aku, kawan. Aku memang
tidak bisa menghalangi rencana itu...," gumam si kacamata itu kecewa.
Sementara itu, Gilbert juga menggumamkan sesuatu, "Tak apa-apa..., karena
sebagai gantinya aku akan membahagiakan kalian...,"
---
"Bruder Gilbert, kau serius mau ikut
perang?" tanya Ludwig tidak percaya melihat kakaknya yang sudah rapi
dengan baju zirah ditambah jubah. Ya, baru-baru ini Gilbert direkrut sebagai
anggota kelompok ksatria di kerajaan tengah yang akan berperang melawan
kerajaan timur.
"Tentu saja, adikku. Ini memang
cita-cita Kakak saat kecil, ikut perang demi kerajaan," jawab Gilbert.
"Ya ampun..., saat kecil punya
cita-cita begitu...?" Ludwig masih tidak percaya.
"Ayolah, itu cita-cita paling
awesome yang pernah kupunya~, kesesese...," jawab Gilbert dengan tawa
khasnya.
"Kakak pergi dulu. Kau jaga dirimu,
ya?" Gilbert keluar rumah. Ludwig pun menyahut, "Bruder juga
hati-hati...!"
"Tenang saja, aku pasti kembali
dengan selamat...," belum selesai Gilbert bicara, Roderich dan Elizaveta
berada tepat di depannya. "Eh, ada perlu apa kalian kemari? Dan Elizaveta,
kau pergi diam-diam, apa tidak ketahuan orang tuamu?"
"...Berjanjilah kalau kau akan
kembali dengan selamat...," kata Elizaveta lirih, lalu ia memengarahkan
tangannya ke depan teman-temannya itu.
"Iya, suatu saat nanti kita bisa
bertemu lagi, 'kan?" jawab Roderich membenarkan dan meletakkan tangannya
di atas tangan Elizaveta.
"Tentu saja!" jawab Gilbert
sambil meletakkan tangannya di atas tangan mereka. "Aku pergi dulu!"
"Hati-hati, Gilbert!!" seru
teman-temannya.
"Jaga diri Bruder baik-baik!!"
seru Ludwig.
Sang pemilik rambut silver itu berjalan
dengan langkah mantap menuju medan peperangan, dengan dua tujuan: menjaga
keamanan kerajaan dan satu tujuan yang dia pendam dari teman-temannya.
Sesampainya di lapangan tempat perang itu
akan berlangsung, terlihat dua partnernya, Francis dan Antonio menunggu di
situ.
"Mon dieu, lama sekali kau,
Gilbert.... Oi, Antonio! Lebih baik kau sudahi siesta-mu itu~" kata sang
pemilik rambut pirang bergelombang itu.
"Ah? Oh, kau sudah datang, ya?"
jawab Antonio tiba-tiba.
"Kalau yang ada di depanmu bukan
aku, lantas siapa?" Sepasang mata berwarna rubi itu mengarahkan
pandangannya dengan sinis ke Antonio. "Lebih baik kita bergegas, ada
banyak musuh yang harus kita kalahkan...,"
Sementara itu, Elizaveta dan Roderich
sedang memangkas tanaman bersama Ludwig. Mereka bertiga masih memikirkan
Gilbert yang sedang berperang.
"Ow!" jerit Elizaveta sambil
buru-buru mengangkat jarinya dari tanaman yang sedang dipangkasnya itu.
"Ada apa, Elizaveta?" tanya
Roderich. Lalu, ia melihat jari manis Elizaveta yang berlumuran sedikit darah.
"Jariku terluka begini...,"
jawab Elizaveta sambil menunjukkan jarinya, "...dan sepertinya aku punya
firasat yang buruk...," lanjutnya.
"Tentang Bruder? Jangan berpikiran
buruk begitu, bisa-bisa aku juga terpikir begitu...," kata Ludwig, ikut
khawatir.
"Sepertinya aku juga jadi khawatir
dengannya...," tambah Roderich. Suasana jadi hening sebentar. Wajah
khawatir mereka diterpa semilir angin yang lembut.
"...Sebaiknya kita doakan supaya dia
kembali ke sini dengan selamat...," kata Roderich. "Setidaknya itu
akan membuyarkan pikiran buruk kalian, 'kan?" Elizaveta dan Ludwig
mengangguk setuju. Kemudian, mereka pun mulai berdoa, memohon keselamatan
Gilbert.
---
Tiga hari telah berlalu. Ini saatnya
rakyat di kerajaan tengah untuk bersukacita. Mengapa? Saat perang berlangsung,
pasukan kerajaan tengah berhasil menaklukkan pasukan kerajaan timur dan yang
lebih menggembirakan lagi, perang benar-benar telah berakhir.
Elizaveta, Roderich, dan Ludwig juga
mendengar kabar ini. Seperti rakyat yang lainnya, mereka pun bersukacita.
Namun, di sisi lain mereka juga masih mengkhawatirkan Gilbert. Jadi, mereka
memutuskan untuk mencarinya. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan tiga
orang dengan seseorang yang sangat dikenali oleh mereka berada di antaranya.
Wajah mereka sempat berbinar , namun hal itu hanya berlangsung sebentar.
Keadaannya terbalik 180 derajat dari yang mereka harapkan.
"Akhirnya, perang benar-benar
berakhir, eh?" ucap Gilbert pelan, lalu ia terjatuh.
"Bruder, ada apa denganmu...?"
tanya Ludwig panik sampai ia melihat jejak luka di jubahnya.
"Ini semua salahku...," kata
Antonio dengan mata berkaca-kaca. "Saat aku terdesak, dia terkena panah di
belakangku."
"Maksudmu?" tanya Roderich yang
saat itu belum mengerti.
"Tadi saat Antonio sedang bertarung,
seseorang membidikkan panah beracun ke arahnya. Tapi, Gilbert melihat itu dan
ia berlari ke belakangnya...," jelas Francis.
"Apa?! Panah beracun?!" seru
Elizaveta tidak percaya. "Itu..., bohong, 'kan?"
"Tidak, kami sungguh-sungguh. Yang
pernah kudengar, racunnya diambil laba-laba berwarna hitam-merah...,"
jelas Antonio. Ia melanjutkan, "...dan kudengar racun itu bisa membunuh
seseorang dalam waktu kurang dari sehari...,"
Elizaveta, Roderich, dan Ludwig bagai
disambar petir saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Antonio.
"Si pemanah itu benar-benar
licik...," ucap Ludwig geram. Kemudian, ia membalikkan tubuh Gilbert
sehingga ia dalam keadaan terlentang.
"Te... teman-teman... -uhuk!!"
Gilbert bermaksud bicara, namun terpotong oleh suara batuk yang cukup keras.
"Gilbert, kau... kenapa kau
melakukan hal seperti itu?" tanya Elizaveta dengan ekspresi ngeri yang
bercampur aduk dengan kekhawatirannya, terutama saat ia melihat darah yang
mengalir perlahan dari mulut Gilbert. Belum lagi wajahnya yang jadi lebih pucat
dari seorang albino yang biasanya.
"...Dekatkan telingamu kemari,
Elizaveta...," pinta Gilbert. Tanpa basa-basi lagi, Elizaveta mendekatkan
telinganya ke wajah Gilbert. Tak lama kemudian, ia mengangkat wajahnya dengan
air mata yang hampir tidak bisa tertahankan lagi.
"Kenapa kau baru
mengatakannya...?" Elizaveta benar-benar tidak bisa menahan air matanya
lagi.
"Apa yang Bruder katakan?"
tanya Ludwig bingung.
"Dia bilang dia suka Elizaveta,
sangat suka...," jawab Roderich setelah ia membisu sementara.
"Kau sudah tahu, Roderich?"
tanya Elizaveta. Roderich hanya menjawabnya dengan anggukan pelan.
"Tapi, kenapa?! Kenapa kau juga baru
mengatakannya?"
"Aku tidak ingin mengacaukan
keadaan..., belum lagi aku berbeda status... dengan kalian berdua...,"
kata Gilbert tepat sebelum Roderich bicara. Semua membisu di tempat.
"...dan jika aku tidak bisa mendapatkanmu..., setidaknya aku ingin
melindungimu...," lanjutnya.
"Aku mengerti, Gilbert..., jadi
kau...," ucap Roderich.
"Itu benar..., aku ingin menjadi
ksatria untuk kalian...," kata Gilbert sebelum ia dipaksa membatukkan
darah lagi. Pandangannya semakin kabur dan ia mulai kesulitan bernafas.
"Ukh... uhuk!!" Semuanya jadi
bertambah panik.
"Hentikan bicaramu, Gilbert! Kalau
tidak, racunnya akan lebih mudah menyebar!" pinta Roderich dengan ekspresi
yang sama dengan Antonio. Alhasil, kacamatanya keburu basah oleh air matanya.
"...Sudah terlambat, kawan. Racunnya
sudah terlanjur menyebar ke seluruh tubuhku.... Aku hanya berharap kalian
berdua bisa bahagia bersama...," Elizaveta dan Roderich hanya terpaku
sedih.
"...Bagaimana kalau kita berpelukan
bertiga?" ajak Elizaveta sambil sedikit tersenyum. Roderich setuju, begitu
juga dengan Gilbert yang berusaha bangkit. Mereka bertiga pun berpelukan.
"...Aku sungguh bahagia menjadi
sahabat kalian..., dan akhirnya kita bisa bertemu lagi... untuk terakhir
kalinya...," ucap Gilbert kaku. Mendengar dua kata terakhir barusan,
Roderich tiba-tiba memekik, "Jangan bicara begitu! Kita bisa melanjutkan
hidup kita bertiga bersama...," Elizaveta juga angkat bicara, "Benar,
kita bisa menghadapinya bersama, Gilbert..."
Mereka tidak menyadari bahwa Gilbert
tidak memberikan respon satupun."Gilbert?" Mereka jadi curiga dengan
kulitnya yang mendingin seperti es. Kemudian, mereka melepaskan pelukannya.
Dilihatnya seorang Gilbert yang sudah tidak bergerak lagi. Ketika Elizaveta
melepaskan tangannya dari tangan Gilbert, dan ia melihat dengan jelas tangannya
yang jatuh dengan lemasnya.
Wajahnya? Benar, di wajahnya terukir
sebuah senyuman kaku, lengkap dengan bekas air mata di pipinya. Melihat
wajahnya itu, Elizaveta tidak bisa manahan tangisnya lagi, begitu juga dengan
Roderich dan Ludwig. Francis dan Antonio juga hanya mematung, larut dalam
kesedihan.
"Maafkan aku, Gilbert!!" teriak
Elizaveta sambil memeluk erat-erat tubuh Gilbert yang sudah dingin dan kaku
itu.
---
"Sudahlah, tidak baik kalau terlalu
lama larut dalam kesedihan, Elizaveta...," sang pria berkacamata itu
berusaha menenangkan wanita berambut panjang itu.
"...Kau benar, Roderich. Ayo kita
keluar...," respon wanita itu sambil menyeka air matanya. Kemudian, ia
merapikan isi peti itu, menutupnya, dan akhirnya keluar dari ruangan yang gelap
itu. Sang pria ikut keluar lalu menutup pintunya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Gimana pendapat readers semua? Aneh? Gaje? Atau justru galau? Silakan dikomentari, ya~? Flame tidak diterima! D:<
0 komentar:
Posting Komentar