GYAAHH!! Akhirnya fanfic ane kali ini udah mateng sempurna~~(?)!!! XD #ditimpukkoteka
Omong-omong, kalo ente pada penasaran apa yang terjadi sama ane, jawabannya adalah satu lagi fanfic crossover yang udah jadi dengan cantiknya~(??). Tepatnya, ane baru saja berhasil nyelesaikan fanfic crossover SnK dengan Master's Sun!! (Yang suka K-Drama pasti ngerti :D) Ini (mungkin) udah jadi FF terpanjang yang pernah ane tulis :'3
Oke. Jadi, ane pernah nonton dua episode Master's Sun dan ASDFGHJKL - keren banget sumpah!! Ide tentang seseorang yang bisa melihat hantu itu keren sekali. Udah begitu ini pertama kalinya ane nonton drama genre horor gitu, selama ini 'kan yang punya genre gituan cuma movie-nya tok.
Nah, idenya itu kebetulan ada secuil yang nyambung dengan anime favorit ane sekarang (baca: Shingeki no Kyojin), yaitu soal orang mati. Lha, emang apa hubungannya coba? Ya ada, dong. Ane bahkan sempat bayangin Tae Gong-Sil yang tiba-tiba ngeliatin arwah para deadchara di situ :v (Kalo mau bayangin sendiri, silakan saja. Tapi jangan lempar saya ke Sungai Mamberamo, oke?)
Oh iya, ane juga mau ngucap banyak terima kasih buat teman sekelas ane yang notabene fans SnK merangkap fans Korea-Koreaan, mereka udah ngasih banyak dukungan buat nyelesaikan FF ini. Gomawo~ Arigatou gozimasu~ #tebarsparkle
Yosh, langsung saja ke FF-nya! ^o^/
Notes and warnings:
- Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama.
- Master's Sun belongs to KBS (?) (Yang tau disclaimernya tolong kasih tau ane)
- Genre: friendship (?) plus angst
gagal total(?) - Rating: err... K+ mungkin?
- Alur kebolak-balik, OOC parah, ngaco tingkat dewa, diksi gagal, angst kagak dapet, dll.
Jean Kirstein adalah seorang mahasiswa asal Jerman yang datang ke Korea Selatan untuk belajar dan selama dua tahunnya di sana ia selalu merasa terganggu oleh seorang wanita bernama Tae Gong-Sil. Namun, siapa yang bakal menyangka pertemuannya dengan wanita itu pada musim dingin terakhirnya di Seoul membawanya kembali ke pengalaman pahit yang ia alami sebelum menginjakkan kaki di Negeri Ginseng itu?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Jean's
POV
Kubuka mataku perlahan-lahan meski rasa
kantuk ini masih terus mendera. Pemandangan pertama yang kulihat hari ini
adalah seisi kamarku yang teramat berantakan. Dengan tubuh yang masih
berlapiskan selimut tebal nan hangat, aku beranjak dari ranjangku dan melangkah
pelan ke arah jendela yang masih tertutup tirai. Begitu kubuka tirai itu, tampaklah
pemandangan Seoul yang sebagian besar terselimuti salju putih.
Namaku Jean
Kirstein dan umurku 20 tahun. Sebenarnya aku adalah seorang mahasiswa yang
datang dari Jerman. Namun, kedatanganku ke Korea Selatan ini bukanlah tanpa
alasan. Kebetulan saja aku mendapatkan suatu kesempatan (yang biasa disebut
sebagai beasiswa) untuk belajar di negara yang dijuluki 'Negeri Ginseng' ini
selama dua tahun. Ya, di kampusku aku dikenal sebagai salah satu dari banyak
mahasiswa yang punya potensi tinggi di bidang pengetahuan kebudayaan dunia.
Sebagai seorang mahasiswa, tidak mungkin kusia-siakan kesempatan itu begitu
saja.
Selama
berada di Seoul aku menemukan berbagai hal baru yang belum pernah kulihat
sebelumnya. Kebudayaan yang unik, masyarakat yang ramah, dan jangan lupa juga
akan cewek-cewek cantik jelita yang banyak kutemui di berbagai penjuru kota. Lumayan lah,
bisa cuci mata di akhir hari-hari yang melelahkan. Eh, apa aku ketularan sifat
mesumnya Reiner, ya? Entahlah, lupakan saja.
Ngomong-ngomong soal cewek Korea, aku
mendapat seorang teman baru. Ia adalah seorang wanita lajang bernama Tae
Gong-Sil, aku sering bertemu dengannya ketika aku kerja paruh waktu di sebuah
toko (biar tidak merepotkan orang tua, tentu saja) dan katanya ia tinggal di
sebuah apartemen tak jauh dari toko itu. Wajahnya manis dan tutur katanya juga
sopan, meski ia agak canggung karena aku datang dari Jerman. Oleh karena itu,
aku sering meminta bantuannya selama keberadaanku di Seoul.
Itu pada awalnya, semua itu berlangsung
sekitar satu setengah tahun. Namun, di semester terakhirku di Seoul, entah
kenapa aku jadi merasa sebal dibuatnya. Memang tidak ada yang salah dengan
wajahnya ataupun tutur katanya, tapi satu hal yang tidak kusukai darinya
akhir-akhir ini.
Jadi, hal
apakah yang membuatku sebal selama semester ini?
Baiklah,
jika kau masih penasaran namun tak kunjung menemukan jawabannya, kubeberkan
saja sekarang. Memang ada satu hal darinya yang membuatku risih bukan main.
Setiap tiga hari, tepatnya pada pagi atau malam hari ketika aku berada di
sekitar toko, ia selalu menjerit tentang–
"D-Dongsaeng!! Arwahnya ngikutin kamu
lagi!!"
Tuh 'kan?
Baru saja dibicarakan, tahu-tahu dia sudah menjerit lagi, persis di belakangku
pula!
"Tolong,
Nuna.... Untuk ke-50 kalinya, tidak
ada apa-apa di belakangku!!"
Ya, benar.
Ia selalu menjerit tentang arwah di hadapanku. Aku tak habis pikir, zaman sudah
sangat maju di Korsel tapi ia masih suka menyinggung-nyinggung soal arwah orang
meninggal yang berkeliaran di sana-sini. Benar-benar suatu persepsi yang tak
lebih dari pikiran orang kolot nan primitif. Lagipula, hampir semua yang
kukenal selama setahun lebih di sekitar sini paham benar kalau aku adalah tipe
lelaki yang berpikir realistis, tidak percaya dan tidak akan pernah percaya
akan keberadaan makhluk halus di sekitar.
---
Tae Gong-Sil's POV
"...Untuk ke-50 kalinya, tidak
ada apa-apa di belakangku!!"
Kalimat itu masih terngiang di telingaku bahkan ketika aku sibuk bergulat
dengan tugas-tugasku sebagai seorang office
boy di Kingdom. Aku masih tidak mengerti mengapa mahasiswa asal Jerman yang
bernama Jean itu tidak kunjung mempercayaiku, padahal tadi aku benar-benar
melihat arwah itu tepat di depannya. Ia bahkan sudah mengikutinya selama lima
bulan terakhir ini setiap tiga hari!
Oh iya, mau
tahu seperti apa tampang arwah penguntit itu? Karena aku sering memergokinya
bersama Jean, maka sebagai gantinya aku jadi hafal bagaimana rupa arwah itu.
Begini, si arwah penguntit itu sedikit lebih tinggi dibandingkan Jean,
rambutnya hitam legam, wajahnya rada-rada memelas, dan yang paling mencolok
darinya adalah–
"Tae
Gong-Sil! Ngapain kamu duduk bengong di sini, bukannya kerja?" Pertanyaan
bernada intimidasi yang dilontarkan CEO Kingdom sukses membuyarkan semua
lamunanku. Sebentar, apakah dari tadi aku memang duduk manis sambil melamun di
dekat pancuran, ya?
"Ah,
Tuan CEO! Anda membuatku kaget saja~" jawabku tersipu seraya mendekati
CEO. Sialnya, dia justru menghindariku, sama seperti yang ia lakukan padaku di
hari-hari sebelumnya.
"Jangan
bilang kalau kau melihat arwah atau hantu lagi."
Wahai Tuan
CEO yang bersahaja, nampaknya aku harus memberimu nilai A+ lagi kali ini. Tentu
saja, itu karena sosok arwah penguntit tadi muncul kembali di hadapanku.
"Baiklah,
baiklah," ucap CEO pasrah melihat reaksiku yang seakan-akan harus
menghadapi monster yang menakutkan. "Sekarang katakan padaku
seperti apa rupa arwah yang kau lihat sekarang!"
"Anu...,"
gumamku sebelum memulai jawabanku. Kuperhatikan si arwah yang kini tersenyum
lembut namun masih terlihat menakutkan itu dengan seksama, mulai dari kepala
hingga ujung kaki. "...Rambutnya hitam, agak tinggi.... Terus ada sesuatu
mirip bintik-bintik di wajahnya...."
"...Rasanya
aku kenal ciri-ciri itu...."
Aku
tersentak mendengar perkataan CEO yang tiba-tiba itu. "Sungguh?"
"Kalau
aku tidak salah ingat...," ucap CEO agak ragu. Namun, tak sampai lima
detik, tiba-tiba ia menampakkan sebuah ekspresi yang mengindikasikan bahwa ia
teringat sesuatu. "Ah! Begini, pernahkah kau mendengar berita tentang
salju longsor di Jerman?"
"Err...,
tidak."
"Baiklah,
kau yang memintanya," ujar CEO dengan terpaksa. Ia pun menjelaskan semua
yang tersimpan di dalam gudang ingatannya.
Selama sang
CEO Kingdom menjelaskan, aku terus memperhatikan tanpa melewatkan satu detailpun.
Sedikit demi sedikit aku mengerti apa yang sudah terjadi terkait dengan arwah
itu. Menurut apa yang bisa diingat oleh CEO, salah seorang yang menjadi korban
salju longsor itu memiliki ciri-ciri yang kurang lebih sama dengan ciri-ciri
yang dimiliki si arwah yang kuceritakan barusan, hanya saja ia tidak ingat
apakah si korban memiliki bintik di wajahnya atau tidak.
"Oke,
Tae Gong-Sil, mendingan kamu lanjut kerja sekarang," kata CEO mengakhiri
penjelasannya. "Dan tolong jangan dekat-dekat aku! Baju ini lebih mahal
daripada yang dulu, tahu?!"
Astaga,
rupanya kebiasaan burukku kumat lagi –
menyentuh CEO di tengah-tengah kepanikanku tiap kali aku menghadapi berbagai
makhluk halus di sekitarku.
Di saat yang
sama, arwah tadi langsung menghilang bagaikan asap yang terbawa angin.
---
Setumpuk
penuh buku referensi beradu dengan meja belajar, diikuti oleh sebuah desahan
panjang dan uap dingin yang menguar dari rongga mulut Jean. Mahasiswa bersurai
coklat susu itu kini bisa bernapas lega karena ia telah selesai dengan semua
kegiatan belajarnya. Ia hanya perlu menggunakan bulan terakhirnya untuk
mempersiapkan dirinya kembali ke Jerman. Namun, yang disebutkan tadi bukanlah
satu-satunya alasan atas kelegaan batinnya. Alasan lain yang menyertainya
adalah seorang wanita bernama Tae Gong-Sil yang sering ditemuinya di sekitar
toko tempat ia bekerja paruh waktu. Ia sudah lelah dengan kelakuan wanita yang
kerap meneriakinya tentang hal yang menurutnya tidak logis sama sekali. Dengan
demikian, jika ia kembali ke Jerman, artinya ia tidak akan lagi dijadikan
sasaran teriakan wanita yang dianggapnya tidak waras itu.
Jean baru
saja akan merebahkan dirinya ke tempat tidurnya ketika ponselnya tiba-tiba
berdering nyaring. Dengan sigap diambilnya ponsel itu, ternyata ada pesan dari
nomor tak dikenal yang masuk ke ponselnya. Rasa penasaran yang tidak bisa
terbendung lagi memaksanya untuk membuka pesan itu, meski dengan sedikit
keraguan dalam hatinya.
"Annyeong haseyo! Datanglah ke Kingdom
siang ini, jam 1 siang. Tae Gong-Sil."
'Tch,
ternyata perempuan sableng itu lagi,' batin Jean sebal. Ia juga heran bagaimana bisa Tae Gong-Sil
mengetahui nomor ponselnya. Ia bermaksud menghapus pesan itu, namun satu lagi
pesan dari pengirim yang sama masuk ke ponselnya.
"Serius!
Tadi malam ada arwah yang datang padaku. Ia minta bantuan padaku dan
permintaannya ini menyangkut dirimu."
Jean langsung terbahak begitu membaca isi
pesan yang kedua. Ia tidak pernah menyangka Tae Gong-Sil akan membicarakan hal
yang sangat ngawur, bahkan melebihi kengawuran omongan yang ia lontarkan selama
dua tahunnya di Seoul.
Ia menghentikan tawanya sejenak dan
beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air minum. Tak lama kemudian, ia
keluar dari dapur hanya untuk mendapati ponselnya yang kembali berdering tanda pesan
masuk. Ia segera membuka pesan yang ketiga itu sambil sebisa mungkin menahan
tawa yang hampir meledak karena membayangkan hal-hal gila lain yang akan
diceritakan si pengirim.
"Oh
iya, hampir saja aku lupa! Ternyata dia
cukup ramah, lho! Waktu dia menemuiku, di justru memperkenalkan dirinya lebih
dulu. Kalau tidak salah sih, dia bilang namanya Marco Bott."
DHEG! Jean tercekat seketika begitu
pandangannya terfokus ke nama yang disebutkan Tae Gong-Sil dalam pesannya. Senyum
mengejek yang terukir di wajahnya pun memudar dan digantikan oleh sebuah raut
wajah yang serius. Ia pun memutuskan untuk membalas pesan itu kali ini.
"Mwo?! Serius apa serius, nih?"
Beep! Beep! Ponsel Jean
berdering lagi tak lama setelah pesan balasannya terkirim.
"Kalau kau memaksa, aku dua rius! (bercanda)
Yang penting kamu datang aja ke Kingdom jam satu siang, ne! Akan kuajak kau ke tempat
yang menarik!"
Ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia
mendengar nama Kingdom.
'Oh
iya, aku 'kan sering lewat kalau sedang pergi jalan-jalan, kok aku bisa lupa
sih?!' batin Jean sambil
menepuk jidatnya.
Entah kenapa, tiba-tiba sebuah ekspresi shock terpasang di wajah Jean begitu ia
mengingat nama yang tertulis di pesan ketiga yang diterimanya dari Tae Gong-Sil
tadi. Ia jadi teringat peristiwa pahit yang menimpa dirinya dan temannya
sebelum ia datang ke Seoul; sebuah peristiwa yang membuatnya kehilangan teman
terbaiknya.
"Jean!
Kudengar kamu dapat
beasiswa ke Korea, ya?"
"Tentu
saja! Hebat, 'kan?"
"Keren!
Jadi iri, deh...."
"Sudah
kuduga kau iri padaku. Pasti kau ingin ke sana buat ketemu Amber yang katamu
ngingetin kamu dengan kerabatmu yang di Norwegia, 'kan?"
"Ahaha..., tahu saja kamu ini.... Oh
ja, omong-omong, gimana kalau kita rayakan kesuksesanmu itu?"
"Dengan apa?"
"Memotret pegunungan bersalju. Sudah lama
kita tidak cari sesuatu untuk difoto, 'kan?"
Jean
menghentikan acara mengingatnya begitu ia melirik jam yang ditampilkan di
bagian atas layar ponselnya. Pukul 12.15. Ia segera bersiap-siap ke gedung
perusahaan yang dimaksud sang wanita lajang yang sempat mengiriminya pesan-pesan
itu.
---
"Woi,
Jean! Di sini!!" Teriakan yang terdengar dari Tae Gong-Sil mengalihkan
perhatian Jean yang sudah menunggunya selama setengah jam. Ia mengedarkan
pandangan sekilas dan mendapati wanita itu melambai-lambai cepat tak jauh
darinya.
Ia
menghampiri Tae Gong-Sil dengan langkah cepat sambil membenarkan syalnya.
"Ne, Nuna.... Kau serius soal arwah yang mendatangimu untuk minta tolong
semalam, 'kan?" tanyanya serius.
"Tentu
saja, Jean! Aku bicara sungguh-sungguh!" kata Tae Gong-Sil menegaskan.
“Yang namanya Marco Bott itu, ‘kan?”
“Eomeo...,
ya iyalah!”
"Dan
ngomong-ngomong dari mana kau dapatkan nomor ponselku?"
"Aku
tanya dari pemilik toko tempatmu kerja sambilan...." jawab Tae Gong-Sil sambil nyengir
keledai. "Oh iya, aku panggilkan taksi dulu, ya!" Wanita muda itu
beranjak dari tempatnya berdiri, meninggalkan Jean yang kini dihujam hawa khas
musim dingin.
Jean menunggu Tae Gong-Sil sambil
mengenang saat-saat terakhir yang ia habiskan bersama temannya, Marco, sebelum
kedatangannya ke Seoul; tepatnya saat mereka merayakan kelulusannya dalam tes
beasiswa di sekitar pegunungan bersalju.
"Lihatlah,
Jean!" seru Marco gembira sambil menyatukan ibu jari dan jari telunjuk
dari kedua tangannya – sebuah bahasa tubuh yang dapat diartikan sebagai
'bingkai', kemudian menghadapkannya pada sebuah pemandangan di depannya.
"Kalau pemandangan ini dipotret dengan sudut pandang begini, pasti
hasilnya bagus sekali."
"Aku tahu itu," kata Jean sambil
mengeluarkan peralatan fotografinya. "Dan dengan adanya pohon-pohon di
pinggirnya, sudah pasti kita akan mendapatkan foto yang keren."
Jean dan Marco berbincang ringan sambil
mempersiapkan berbagai perabot untuk memotret sebuah pemandangan di sekitar
mereka. Pemandangan yang akan mereka potret itu berupa beberapa gunung dan
bukit yang menjulang cukup tinggi serta diselimuti salju tebal. Gunung dan
bukit itu dikelilingi oleh beberapa pohon cemara yang berdiri kokoh di
sekitarnya.
Namun, sebelum mereka sempat memotret pemandangan
itu, ada suara gemuruh yang diikuti oleh gundukan salju tebal yang turun
menimpa mereka dengan cepat dari atas sebuah bukit. Jean hampir tidak ingat
apa-apa lagi ketika gundukan salju itu longsor menimpa mereka.
"Jean!
Tunggu apa lagi? Cepetan naik!!" sahut Tae Gong-Sil dari dalam taksi,
mengagetkan Jean. Sang mahasiswa yang mendengar sahutan itu segera bergegas
memasuki taksi yang baru saja dicegat wanita muda itu.
Selama
perjalanan menuju tempat tujuan yang masih belum jelas, Jean hanya memandangi
pemandangan bersalju yang melintasi penglihatannya dari balik
jendela taksi sambil meneruskan mengingat perayaan yang berujung petaka itu.
"Huah!!"
seru Jean sambil mendelik tiba-tiba. Ia mendapati dirinya berada di atas tempat tidur milik sebuah klinik. Ia
segera bangkit dan kedua mata amber-nya
langsung memindai seisi ruangan tempat ia berada sekarang dengan hati yang
dijejali perasaan panik. "Marco? Kau di mana, Marco?"
Seorang petugas evakuasi masuk ke ruangan itu
dengan wajah suram. Jean melihat petugas itu dan ia bisa merasakan bahwa
sesuatu telah terjadi pada temannya. Petugas itu berkata pelan, "Ikut
aku."
Tanpa pikir panjang, Jean langsung mengikuti
petugas evakuasi tu menuju sebuah ruangan lain dengan diliputi perasaan cemas.
Begitu mereka sampai di ruangan tersebut, jantung Jean serasa berhenti berdetak
melihat sesosok tubuh yang terbaring kaku dan tertutup kain di atas sebuah
tempat tidur tak jauh dari tempatnya berada sekarang. Ia menghampiri jasad itu
dan segera membuka kain yang menutupinya. Alangkah terkejutnya ia begitu
mengetahui bahwa si pemilik jasad tanpa nyawa itu adalah temannya sendiri.
"...Marco..., kenapa...?" bisiknya
lirih.
"Seharusnya kau bersyukur karena kau
selamat. Sementara temanmu...,"
Sang petugas evakuasi menunduk muram. "...Kami menemukannya tewas kedinginan di dalam gundukan salju yang dalam. Nampaknya ia mengalami suatu kondisi
yang menyebabkannya tidak bisa bertahan dalam suhu yang sangat rendah."
Jean hanya menatap kosong jasad Marco dengan
ekspresi tak percaya. Tidak pernah terpikir olehnya sebuah perayaan kelulusan
yang ujung-ujungnya meminta tumbal, apalagi jika melibatkan hobinya sekarang.
Sejak peristiwa yang merenggut nyawa temannya itu
terjadi, Jean memutuskan untuk tidak meneruskan hobi fotografinya yang telah mereka geluti sejak
masuk SMA.
"Kita
sudah sampai, Jean. Turun, yuk!" ajak Tae Gong-Sil, membuyarkan lamunan
Jean. Jean yang baru saja mengakhiri acara mengingatnya itu segera turun.
Begitu ia
turun dari taksi, sebuah ekspresi heran bercampur kagum terbentuk di wajahnya.
Dilihatnya sebuah taman kota di Seoul yang penuh dengan aksen putih akibat
tertutup salju. Beberapa pohon di sekitarnya berdiri tegar meski tanpa ada satupun
daun di dahannya. Ada juga sekelompok anak kecil yang asyik bermain salju,
mulai dari membuat boneka salju sampai bermain perang bola salju. Perpaduan
antara tumpukan salju, pepohonan serta beberapa manusia yang berada di taman
itu menjadikannya terlihat tenteram.
"Oh
iya, arwah yang mendatangiku semalam menitipkan ini padaku," ujar Tae
Gong-Sil tiba-tiba seraya mengambil sesuatu dari dalam tas tangannya. Ternyata
hanya secarik surat yang ditulis wanita itu. Namun, Jean yakin isi surat itu
adalah dari arwah yang Tae Gong-Sil maksud. Lagipula, ia sendiri
tidak pernah mendengar kalau arwah bisa menulis.
Dibukanya
surat itu, kemudian membaca isinya yang terbilang cukup panjang itu.
Lieber Jean,
Aku tahu kamu masih belum terima kalau aku sudah
tiada, tapi bukan berarti kamu harus menghentikan hobi yang sudah kita geluti
sejak lama. Sejak kau pergi ke Korea dengan wajah muram,
aku mengkhawatirkanmu jadi aku sengaja mengikuti arah kepergianmu ke Korea
dalam waktu selama satu setengah tahun. Dan dari yang kudengar dari beberapa
arwah penasaran di sana, ada seseorang yang bisa diandalkan untuk membantu
menyelesaikan masalah mereka, ia adalah wanita yang kau temui sekarang ini.
Karena itulah, aku sengaja minta tolong padanya.
Langsung ke intinya saja, deh. Apakah kau masih
ingat obrolan terakhir kita sebelum bencana salju longsor itu terjadi? Kuharap
omonganku waktu itu bisa memberimu semangat kembali. Tetaplah berjuang, Jean!
Viele Gruß,
Marco Bott
P.S. : Karena aku tidak bisa bahasa Korea dan
orang yang kumintai tolong itu juga tidak bisa bahasa Jerman, makanya kuajak
sekalian sesosok arwah penerjemah untuk membantu kami, hahaha...
Tiba-tiba
saja Jean teringat kembali perkataan terakhir yang diucapkan Marco tepat
sebelum bencana itu terjadi.
"Kalau kau sudah di Korea, jangan lupa
potret pemandangan di sana, ya! Kudengar pemandangan Korea di musim dingin
sangat indah, lho!"
"Ayolah,
Jean-dongsaeng! Jangan buat chingu-mu itu kecewa!" pinta Tae
Gong-Sil begitu melihat Jean yang malah tertunduk dan mematung di sebelahnya,
seolah-olah ia mendukung isi surat dari Marco itu.
Tae Gong-Sil
terhenyak sejenak melihat apa yang dilakukan Jean kemudian. Mahasiswa bermarga
Kirstein itu tiba-tiba merogoh saku jaketnya untuk mengambil sesuatu dari
dalamnya, yang ternyata adalah sebuah ponsel miliknya. Ia kemudian
mengobrak-abrik apapun yang ditampilkan di layar ponselnya demi menemukan
sebuah aplikasi. Setelah itu, ia mengarahkan ponsel itu ke hadapannya.
KLIK!
Sebuah
pemandangan taman kota Seoul di musim dingin tertangkap oleh kamera ponselnya.
---
Hari ini,
seorang mahasiswa bernama Jean Kirstein akan mengucapkan selamat tinggal pada
Kota Seoul. Ia telah menyelesaikan kuliah dua tahunnya di sana dengan baik.
Bukan itu saja, ia kini mendapatkan sebuah pengalaman yang tidak akan ia
lupakan dalam hidupnya. Mulai dari pertemuannya dengan Tae Gong-Sil, ketika ia
sebal dengan kebiasaan buruk Tae Gong-Sil, hingga ketika ia memotret sebuah
pemandangan Kota Seoul untuk pertama dan terakhir kalinya.
Ngomong-ngomong
soal potretan yang berhasil ia dapatkan tempo hari, secara iseng ia melihat
kembali hasil jepretannya yang masih tersimpan dalam memori ponselnya.
Jean
terbelalak melihat foto itu. Saat ia pergi ke taman bersama Tae Gong-Sil untuk
memotret pemandangan taman kota, ia tidak melihat seorangpun kecuali anak-anak
kecil di sana. Namun, kali ini ia melihat sesosok pemuda yang ikut tertangkap
kameranya. Sosok itu terlihat berdiri di pinggir fotonya, dengan posisi
membelakangi kamera namun wajahnya sedikit menoleh ke belakang.
Ia semakin
tidak mempercayai matanya sendiri tatkala ia memperhatikan ciri-ciri pemuda
itu. Rambut hitam legam, kedua matanya berwarna coklat, dan beberapa bintik di
wajahnya – mungkinkah itu Marco?
Teringat
olehnya saat-saat setelah ia mendapatkan foto itu. Jika ia tidak salah lihat,
ia mendapati Tae Gong-Sil yang mengedipkan salah satu matanya sambil membentuk
lingkaran dengan jari telunjuk dan jempolnya sementara ketiga jari lainnya
tegak berdiri, namun gestur itu bukan ditujukan kepada Jean.
"Pfft,
kau ini, Marco.... Kau pasti bersekongkol dengan si radar hantu itu,
'kan?"
Kemudian ia tersenyum kecil. Ia berubah menjadi lebih tenang karena ia
kembali menemukan semangat dalam menekuni hobinya. Semua berkat teman dekatnya
serta wanita Korea itu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
1 komentar:
seru bacanya bagus deh
kental manis
Posting Komentar