Pensil, penghapus,
pena, penggaris; benar, Kayla dan Olivia akan mengikuti lomba menulis komik
yang diadakan oleh sekolah mereka: SMP Pancasila, dan hari itu juga lomba
tersebut dilaksanakan. Mereka berdua tampak bersemangat.
“Kayla,
selamat berjuang, ya!”
“Ow, jangan aku
saja, kau juga selamat berjuang, Ollie – nama panggilan Olivia. Siapa tahu kau
menang,” jawab Kayla pada Olivia sebelum masuk ke ruangannya – Kayla beda ruang
dengan Olivia.
Lomba pun dimulai.
Para peserta langsung melakukan apa yang
diinginkan panitia: menulis sebuah komik yang setidaknya berjumlah 2 halaman.
***
2 minggu berlalu. Para
siswa sedang berdesak-desakan di depan mading termasuk Kayla dan Ollie. Mereka
terlihat tidak sabar melihat siapa yang menang lomba komik tersebut. Kayla
mulai memindai – maksudnya membaca sekilas.
“Hei, kenapa
namaku tidak ada, ya?” sahut Kayla bingung.
“Entahlah, mungkin
mereka salah ketik atau ...,” belum selesai bicara tiba-tiba Ollie melihat
namanya tercantum di pengumuman.
“Selamat, Li! Kau
menang!!” sahut Gina sambil
mengguncangkan badan Ollie dengan cukup kencang.
“Terima kasih,
Gina. Dan tolong lepaskan tubuhku,” jawab Ollie sambil meng-glare
Gina. Teman Kayla dan Ollie yang berambut bob ini memang agak cerewet. Kalau
ada sesuatu sedikit saja, pasti Gina yang jadi biang kehebohannya.
“He he he, maaf,
maaf. Bagaimana kalau kita ke kantin.
Aku lapar, nih. Kamu gimana? Kayla? Aduh, Kayla ke mana, sih?”
“Iya, dia ke mana,
ya?” tiba-tiba Ollie melihat Kayla berjalan di koridor depan perpustakaan.
“Itu dia! Hei,
Kayla!!” teriak Ollie dan Gina.
“Ya ampun, kamu
ini kenapa langsung pergi, sih. Kita tidak bermaksud untuk bersikap kamseupay, tapi ...,” belum selesai Gina
bicara, Kayla langsung bergegas meninggalkan Gina dan Ollie.
Di kelas, Ollie
dan Gina membicarakan sikap aneh Kayla barusan. Mereka merasa ada yang salah
dengan Kayla. Tidak lama kemudian Rian dan Anto masuk kelas.
“Eh, apa kalian
merasa ada yang aneh dengan Kayla?” tanya Rian.
“Lho, jadi tadi
kalian lihat dia?” tanya Ollie.
“Iya, waktu kita
mau ke kelas, Kayla kelihatannya lagi marah. Tadi waktu kita samperin dia, kita
malah dibentakin, betul nggak Rian?” kata Anto.
“Iya juga, sih.
Padahal seingatku, Kayla itu biasanya pendiam, netral-netral gitu, kok,” tukas
Rian.
“Sebentar,
jangan-jangan ini ada hubungannya tentang pengumuman lomba tadi. Ada yang sependapat
denganku?”
“Iya, bener.
Jangan-jangan Kayla jadi ketus gara-gara pengumuman lomba!” sahut Rian sambil
menjentikkan jarinya.
“Ya sudah, kita
samperin dia lagi, yuk!” ajak Ollie sambil menarik lengan Gina.
“Hoi, tunggu dulu!
Sebenarnya Kayla lagi ...,”
“Nanti aku kabarin
lagi! Kalian tunggu di situ!” sahut Ollie setengah berteriak. Rian dan Anto hanya saling menatap kebingungan di kelas.
“KAYLAA!!” sahut
Ollie dan Gina sambil terengah-engah.
“Apa!? Kalian
nggak usah pake nyamperin segala, deh!!”
Kayla berbalik dan menyahut dari depan perpustakaan – yang agak jauh
dari kelasnya – kemudian kembali meneruskan langkahnya yang entah dia mau ke
mana.
“Gimana, nih?
Kayla jadi keras kepala begitu,”
“Mana aku
tahu!? Kita samperin saja pake
dibentak?!” jawab Ollie tidak sabar.
***
Keesokan harinya,
Kayla masih puyeng untuk mengetahui
alasan ia kalah dalam lomba komik itu.
Padahal, ia dikenal sebagai komikus kelas yang juga bagian ilustrasi
majalah SMP Pancasila. Berbeda dengan Ollie – yang bahkan lebih suka menulis
daripada ber-doodle ria – yang
ditempatkan di bagian artikel majalah. Jika dipikir-pikir, agak ganjil memang
kalau Ollie yang memenangkan lomba tersebut.
“Kay, ngapain
melamun, tuh?” pertanyaan Rian mengagetkan Kayla yang masih asyik melamun.
“Tidak apa-apa,
kok,” jawab Kayla dengan tidak acuhnya.
“Dua hari ini,
kamu dan Ollie nggak kompak. Pasti
masalah ‘itu’, ya?” tanya Rian lagi.
“Bukan urusanmu,”
lanjut Kayla ketus sambil menuju pintu kelas.
“Tunggu sebentar!
Kau lupa pembicaraanmu dengan Ollie saat terakhir kali kita kerjakan majalah
sekolah sebelum hari lomba dilaksanakan?”
sahut Rian sedikit berteriak.
Sebenarnya Kayla
ingin keluar kelas dan mengabaikan omongan Rian untuk ketiga kalinya, tetapi ia
terhenyak sebentar mendengar sahutannya barusan.
“Lihat saja, Kayla! Kali ini pasti artikel
tulisanku lebih menarik lagi,” tantang Ollie sambil meneruskan ketikannya.
“Jangan cuma bisa ngomong! Buktikan dulu, baru kau
bisa bersikap takabur!” balas Kayla yang tengah mengerjakan ilustrasinya.
“Ngomong-ngomong, kau tahu soal pamflet yang
baru-baru ini dipajang di mading?” tanya Ollie, mengganti topik.
“Lomba komik di sekolah, ya? Kamu ketinggalan, aku
sudah tahu duluan, bleh!” ejek Kayla sambil menarik sedikit kelopak mata
kanan-bawahnya turun. “Memangnya
kenapa?” lanjutnya.
“Tidak ada. Aku
cuma mau bilang sesuatu tentang lomba itu,”
“Apa itu?”
“Kalau kamu melanggar aturan, sama saja kamu tidak
berguna. Tapi, itu lebih parah lagi kalau kamu
tidak menghargai peserta lain,”
“Sudah kuduga.... Hei! Komik Naruto-vol. 27-ku belum
kamu kembalikan, ya!? Pantasan kamu ikut-ikutan makna pembicaraannya?”
“Ha ha ha,
maaf, deh. Aku jamin besok kukembalikan
tepat waktu, soalnya tadi pagi
buru-buru,” kata Ollie sambil
cekikikan. Kayla sweatdrop seketika.
“Tuh, soal ‘tidak
berguna’ waktu itu, masa’ kamu lupa?” tanya Rian lagi, kali ini yang keempat
kalinya.
“Hm, iya juga,
sih. Ah, bingung aku jadinya. Nanti saja
deh, kuluruskan lagi permasalahannya,” jawab Kayla dengan muka bingung.
Dengan ini, Rian bisa menghela nafas lega.
Saat pulang
sekolah pun, Kayla masih memikirkan masalah itu: Ollie yang menang lomba komik,
ditambah lagi omongannya yang tadi Rian ceritakan. Karena asyik melamunkan dua
hal tersebut, ia tidak menyadari kalau ia sudah berjalan semakin ke tengah
jalan raya! Belum lagi ada sebuah mobil pick-up
yang sedang melaju dengan kecepatan
tinggi ke arahnya!!
“AWAAASS!!!”
teriak seseorang dari seberang yang kemudian berlari ke arahnya. BRAAKKK!! Tabrakan
pun tidak terhindarkan. Namun bukan Kayla yang tertabrak, melainkan orang yang
tadi meneriakinya dari seberang.
Orang tadi panjang
rambutnya sebahu dan agak ikal..., itu ‘kan Ollie!! Dia baru saja mendorongku
ke seberang dan akhirnya tertabrak mobil!? Dia melindungiku sedangkan aku malah
membencinya hanya karena pengumuman lomba!? Kayla jadi ingin menyumpah-serapahi
dirinya sendiri. Kalau saja dia bicara langsung pada Ollie, pasti tidak akan begini jadinya.
“Syukurlah..., kau
selamat..., Kayla...,” kata Ollie pelan, dan akhirnya dia pingsan.
Kayla masih tidak
percaya akan apa yang baru saja terjadi. Sebuah ambulans datang ke tempat
kejadian dan membawa Ollie ke rumah sakit – atas laporan siswa-siswi lain yang
pulang sekolah di jalan yang sama. Gina, Rian, dan Anto yang melihat dari
kejauhan terlihat prihatin setelah kecelakaan itu terjadi secara tragis dan mereka
– termasuk Kayla – berharap Ollie akan baik-baik saja, itupun juga kehendak
Tuhan.
***
3 hari kemudian,
Kayla berjalan ke sekolah dengan wajah murung sejak kecelakaan tersebut.
Mengetahui itu, Bu Mona – wali kelas VIII-3 – yang kebetulan sedang berada
persis di dekat gerbang sekolah, menghampiri Kayla.
“Selamat pagi, Bu
Mona,” salam Kayla.
“Selamat pagi
juga, Kayla. Ada apa gerangan, wajahmu
kelihatan lesu?”
“Em, cuma lesu
saja, Bu. Itu saja,”
“Kayla, tidak baik
menyembunyikan permasalahan. Jadi, tolong ceritakan pada Ibu apa yang
sebenarnya terjadi,” kata Bu Mona lembut.
“Menurut Ibu,
wajar tidak kalau ada teman yang menang lomba, terus kita jauhi?” tanya Kayla
memastikan.
“Yah..., kalau
menurut Ibu sih, memang ada orang yang punya tipe seperti itu. Memangnya
kenapa?”
“Soalnya waktu
Ollie juara lomba, aku malah tidak senang, terus gara-gara itu, dia ketabrak
mobil. Bu guru punya solusi, nggak?”
“Ada: kamu ‘kan
tinggal menjenguknya sambil minta maaf. Kalau
bisa, ajak teman-teman sekalian,”
“Terima kasih, Bu
guru! Aku coba lakukan!” sahut Kayla sambil bergegas ke ruang Kepala Sekolah
dan meminta izin ke rumah sakit.
Sesampainya di
rumah sakit, Kayla segera menanyakan ruang tempat Ollie dirawat. Setelah mendapatkan informasi, ia melesat ke Kamar
Kemuning – Ollie sedang dirawat di ruang itu. Setibanya di depan pintu, ia
melihat dokter keluar dari kamar rawat.
“Permisi, Pak.
Bagaimana teman saya?” tanya Kayla penasaran sekaligus deg-degan.
“Lukanya cukup
parah, namun kondisinya stabil. Adik boleh menengoknya di dalam, tetapi tolong
jangan berisik,” jawab dokter. Fuh, baguslah kalau dia selamat, pikir Kayla
lega. Ia memutuskan untuk masuk ke kamar.
“Ollie, ini aku,”
bisik Kayla dengan suara jelas. Ollie tidak menjawab. Ia terbaring lemah di ranjangnya.
Sepertinya ia sedang tidur, pikirnya.
Kayla
memperhatikan Ollie baik-baik. Wajahnya pucat. Sebagian tubuhnya ditutupi
perban. Dan ia tidak bernafas. Sebentar, di monitor penunjuk detak jantung,
diagramnya masih penuh dengan garis naik-turun. Berarti dia masih koma, gumam
Kayla. Karena ia mengantuk – lantaran tidak bisa tidur, memikirkan keadaan
Ollie – , Kayla tertidur di dekat ranjang.
Ia bermimpi berada di suatu tempat.
Lalu, ia bertemu Ollie agak jauh
darinya.
“Ollie, kaukah
itu? Ini di mana, sih?” tanya Kayla penasaran.
“Benar, ini aku.
Sebenarnya aku tidak peduli kita di mana, aku cuma ingin bicara,” jawab Ollie.
“Apa itu?”
“Kau ingat obrolan
kita waktu itu?” tanya Ollie untuk membuat Kayla ingat saat itu.
“Hm, ya! Aku
ingat! Ada apa memangnya?”
“Kau tahu, aku
tidak akan menarik kata-kataku, kecuali jika kamu yang melakukan,”
“Maksudmu kau
tetap menganggapku sahabat?” tanya Kayla bingung. Ollie hanya mengangguk. “Terima kasih, Kayla,” perlahan
Ollie menghilang dari pandangan Kayla. Ia tidak percaya akan hal ini. Karena
terlalu bingung, ia pun terbangun.
“Ollie,
jangan tinggalkan a...,” sahut Kayla terbangun. Tapi, ia menjerit tiba-tiba
melihat Ollie yang wajahnya sedang pucat terbangun. “KYAAA! ZOMBII!!”
“Woi, zombi dari
Hong Kong-mu! Aku masih hidup, bego!” balas Ollie sebal karena ia disangka
zombi. “Lho, Kayla, kenapa kamu di sini? Ini di rumah sakit, ‘kan?” Ollie
penasaran.
“Lupakan saja, aku
cuma mau minta maaf. Waktu itu aku tidak senang karena kamu juara lomba,
padahal sahabat itu harusnya senang kalau temannya beruntung, dan aku malah
sebaliknya,” jelas Kayla sambil berlinangkan air mata.
“Sudahlah, semua
orang itu pernah salah. Aku terima permintaan maafmu,” jawab Ollie, dengan
keadaan yang sama dengan Kayla. Mereka pun berpelukan.
“Baiklah! Sebagai
bukti permintaan maafku, aku akan tulis komik lalu di-upload di akun deviantArt-ku. Kapan-kapan lihat, ya?” kata Kayla sambil mengepalkan tangannya.
“Oh, tentu saja.
Masa’ aku tidak mau?” jawab Ollie
setuju. Mereka berdua tertawa bersama.
***
Sori kalo jelek.... =v="
0 komentar:
Posting Komentar